Manfaatkan Medsos, Mantan Komandan NII Ungkap Pergeseran Modus Teroris di Indonesia
Para pelaku kejahatan bom dan teror, ucap Ken, memanfaatkan media sosial semisal YouTube sebagai ajang memperkuat iman mereka.
TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Kejahatan terorisme marak di sejumlah wilayah di Indonesia.
Diawali dari Mako Brimob Kelapa Dua, berlanjut di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau.
Mantan Komandan Negara Islam Indonesia Ken Setiawan sekaligus pendiri NII Crisis Center mengatakan, rentetan kejahatan terorisme yang terjadi selama dua pekan terakhir ada yang direncanakan dan acak.
Menurut Ken, kejahatan bom dan teror beruntun ini berasal dari kerusuhan di Markas Komando Brimob, Depok, Jawa Barat.
Baca: Soal Isu Kasus Terorisme Hanyalah Rekayasa, Napiter Bom Bali Ali Imron : Teroris Nanti Kipas-kipas
Teror merembet ke sejumlah daerah, misal rentetan bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.
28 orang tewas dan 57 orang terluka dalam peristiwa tersebut.
Para pelaku kejahatan bom dan teror, ucap Ken, memanfaatkan media sosial semisal YouTube sebagai ajang memperkuat iman mereka.
"Termasuk dengan metode-metode membuat aksi bom," ujar Ken saat dihubungi Tribunnews, Kamis (17/5/2018).
Paham-paham radikal tersebar melalui ranah media sosial.
Baca: Disandera Teroris Selama 30 Jam, Bripka Iwan: Rekan Saya Ditembak Mati Karena Menolak Diinterogasi
Melalui broadcast-broadcast di grup-grup WhatsApp.
Berita-berita bohong lebih cepat tersebar dengan berita yang berdasarkan fakta.
"Ini memicu orang melakukan aksi-aksi tadi. Peran media sosial cukup signifikan dalam aksi terorisme ini. Opini publik berawal dari sana," kata Ken.
Pergerakan para pelaku teror mengalami pergeseran modus operandi.
Mereka tak perlu lagi menunggu instruksi dari seorang komandan kelompok.
Kini, para teroris bergerak secara acak.
Baca: Gugur Saat Serangan Teroris, Ini Kisah Ustaz Abdul Somad Bertemu Ipda Auzar Saat Pakai Jubah Putih
"Ini bahaya karena mereka bisa melakukan kapan dan di mana saja," ucap Ken.
Intoleransi menjadi pintu masuk awal radikalisme.
Menurut Ken, para pelaku teror menganggap paham yang mereka yakini paling benar, sementara yang lain salah.
"Yang berbeda paham diyakini mereka kafir. Itu pintu awal orang akan berbuat radikal," tuturnya.
(Tribunnews.com/ Dennis Destryawan)