Imlek 2018
Jasa Besar Gus Dur dalam Perayaan Imlek di Indonesia, Sudahi Diskriminasi Warisan Orde Baru
Selama orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terang-terangan.
Penulis: Yudhi Maulana Aditama | Editor: Yudhi Maulana Aditama
TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Hari ini, Jumat (16/2/2018) warga keturunan tionghoa tengah berbahagia menyambut tahun baru Imlek 2018.
Setiap vihara atau klenteng di berbagai daerah pun sudah dipadati orang-orang untuk melakukan peribadatan sejak malam tadi.
Wangi semerbak dupa dan asap pun memenuhi setiap sudut klenteng.
Warna merah serta ornamen lampion menjadi dekorasi yang wajib ada saat perayaan tahun baru Imlek.
Di balik suasana suka cita, ternyata perayaan Imlek di Indonesia punya sejarah yang cukup kelam.
Sebab, dulu orang keturunan Tionghoa tak bisa bebas merayakan Imlek seperti sekarang.
Baca: Ramalan di Tahun Anjing Tanah, Siap-Siap Pemilik 3 Shio Ini Bakal Berlimpah Rezeki dan Enteng Jodoh
Selama orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masyarakat etnis Tionghoa dilarang merayakan Imlek secara terang-terangan.
Dikutip dari Kompas.com, Soeharto mengeluarkan Instruk Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Dalam aturan itu, Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa yang merayakan pesta agama atau adat istiadat "tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga".
Sementara itu, kategori agama dan kepercayaan China ataupun pelaksanaan dan cara ibadah dan adat istiadat China itu diatur oleh Menteri Agama setelah mendengar pertimbangan Jaksa Agung.
Baca: 3 Fakta Menyedihkan Roro Fitria, Dari Gagal Nyaleg, Ibu Sakit Parah, Hingga Terciduk Narkoba
Imlek dan Cap Go Meh kemudian masuk dalam kategori tersebut.
Namun, pengekangan itu berubah ketika Soeharto dilengserkan tahun 1998.
Meski begitu, sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa juga masih ada, misalnya kewajiban menyertakan surat bukti kewarganegaraan RI ketika mengurus dokumen kependudukan khusus untuk etnis Tionghoa.
Semua itu berakhir ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur terpilih menjadi presiden hasil pemilihan umum pertama pada era reformasi.
Gus Dur dengan tagas mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang sudah dikeluarkan oleh Soeharto.
Inpres itu dicabut dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000.
Inpres itu menjadi angin surga bagi para keturunan Tionghoa karena mereka bisa merayakan Imlek secara terang-terangan.
Kemeriahan pun terlihat di perayaan Imlek, yang saat itu ditandai sebagai tahun Naga Emas.
Baca: Wariskan Harta Melimpah, Begini Perasaan Ibu Roro Fitria Lihat Anaknya Terjerat Narkoba
Ornamen naga, lampion, dan angpau ikut terlihat terpasang indah di sejumlah pertokoan. Atraksi barongsai menjadikan perayaan Imlek semakin ceria.
Akan tetapi, perayaan Imlek sebagai hari nasional baru dilakukan dua tahun sesudahnya, pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Megawati menyampaikan penetapan tersebut saat menghadiri Peringatan Nasional Tahun Baru Imlek 2553 pada 17 Februari 2002. Penetapan Imlek sebagai hari libur nasional baru dilakukan pada 2003.
Menjadi bangsa Indonesia
Meski demikian, bukan berarti diskriminasi terhadap etnis Tionghoa hilang. Pada 2004, Gus Dur pun mengakui masih ada ribuan peraturan diskriminatif yang belum dicabut.
"Masih ada 4.126 peraturan yang belum dicabut. Misalnya, soal SBKRI. Itu kan sesuatu yang tidak ada gunanya," kata Gus Dur dikutip dari harian Kompas yang terbit pada 11 Maret 2004.
"Di mana-mana di dunia, kalau orang lahir ya yang dipakai akta kelahiran, orang menikah ya surat kawin, tidak ada surat bukti kewarganegaraan. Karena itu, saya mengimbau kawan-kawan dari etnis Tionghoa agar berani membela haknya," ujar dia.
Gus Dur pun berharap semua elemen bangsa memberikan kesempatan kepada masyarakat Tionghoa dalam kehidupan bermasyarakat.
Baca: 3 Tipe Politisi Versi Cak Lontong: Playback, Flashback dan Cashback. Najwa Shihab Sampai Ngakak
"Mereka adalah orang Indonesia, tidak boleh dikucilkan hanya diberi satu tempat saja. Kalau ada yang mencerca mereka tidak aktif di masyarakat, itu karena tidak diberi kesempatan," ucap Gus Dur.
"Cara terbaik, bangsa kita harus membuka semua pintu kehidupan bagi bangsa Tionghoa sehingga mereka bisa dituntut sepenuhnya menjadi bangsa Indonesia," ujar tokoh Nahdlatul Ulama itu.
Atas kebijakan dan pemikirannya yang terbuka, Gus Dur pun mendapat gelar sebagai "Bapak Tionghoa Indonesia".
Baca: 5 Wanita Cantik Yang Pernah Mengisi Hati Fachri Albar
Bagi kaum Tionghoa, Gus Dur dinilai telah menghapus kekangan, tekanan, dan prasangka. Pada masa lalu, kaum Tionghoa kerap mendapati stigma buruk, baik dari Pemerintah Indonesia, maupun masyarakat pada umumnya.
Gus Dur juga dinilai telah berjasa menjadikan semua warga negara menjadi setara.