Rutin Diberikan Setiap Hari Raya, Ternyata Ini Sosok Pencetus THR Pertama Kali
Melansir dari Kabarburuh.com, sejarah kemunculan THR pertama kali itu muncul pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.
Peraturan mengenai THR ini dituangkan di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan.
Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada para pekerja yang telah bekerja selama tiga bulan secara terus meneru ataupun lebih.
Besaran THR yang diterima pun disesuaikan dengan masa kerja.
Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih menerima sebesar satu bulan gaji.
Baca: Tampak Kurus, Begini Perubahan Menantu Hatta Rajasa dari Pacaran Hingga Setelah Menikah
Sementara pekerja yang mempunyai masa kerja tiga bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerjanya, yakni dengan perhitungan masa kerja/12 x 1 (satu) bulan gaji.
Di tahun 2016 ini, pemerintah melalui Kementrian Ketenagakerjaan, merevisi peraturan mengenai THR tersebut.
Perubahan ini tertuang dalam peraturan menteri ketenagakerjaan No.6/2016.
Peraturan terbaru itu menyebutkan bahwa pekerja yang memiliki masa kerja minimal satu bulan sudah berhak mendapatkan
Tunjangan Hari Raya. Selain itu kewajiban pengusaha untuk memberi THR tidak hanya diperuntukan bagi karyawan tetap, melainkan juga untuk pegawai kontrak.
Termasuk yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) maupun perjanjian kerja waktu tertentu, (PKWT).
Baca: Sangar dalam Adegan Film, Inilah Foto-foto Jadul Pemeran Avengers Saat Masih Muda, Pangling!
Namun siapakah sebenarnya sosok Soekiman Wirjosandjojo?

Melansir dari Jakarta.go.id, Soekiman Wirosandjojo adalah tokoh politik dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang juga dikenal sebagai tokoh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Ia adalah Perdana Menteri pada 27 April 1951-3 April 1952. Lahir di Sewu, Solo pada tahun 1898.
Ia mengenyam pendidikan di ELS yang kemudian dilanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter) di Jakarta. Saat usianya menginjak 29 tahun, ia lulus dari Universitas Amsterdam bagian kesehatan.
Selama menuntut ilmu di negeri Belanda, ia mendalami masalah sosial, politik dan juga kebudayaan.