Bule Marah Terganggu Suara Salawat di Musala, Begini Hukumnya Tadarus atau Salawat Pakai Speaker
sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk sejumlah keperluan tersebut boleh saja.
Penulis: Yudhi Maulana Aditama | Editor: Yudhi Maulana Aditama
TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Video viral seorang bule yang marah karena merasa terganggu dengan suara salawat dari masjid menjadi perbincangan banyak warganet.
Kejadian yang terjadi di kawasan Ciampe, Kabupaten Bogor itu sudah menjadi viral di media sosial.
Bule yang diketahui bernama Frank memarahi seorang ustaz hingga mendatangi rumahnya.
Hingga akhirnya pihak kepolisian pun turun tangan untuk menangani masalah ini.
Pria berusia 62 tahun itu, menurut Kapolsek Ciampe Kompol Adi Fauzi, protes saat ada acara tadarus di Mushola Nurul Jadid.
Baca: Bule Ciampea Bogor Marah Dengar Salawat, Ancam Rusak Mushola Begini Nasibnya Sekarang
Tadarusan diisi oleh ustaz Ade Syafei.
"Tadarus itu diisi ustadz Ade Syafei, kebetulan rumah bule itu dekat dengan musala itu karena merasa terganggu akhirnya menegur Adi, keduanya sempat cekcok mulut, kejadiannya hari Sabtu kemarin," paparnya.
Menurut Adi, Frank tidak mengetahu bahwa tadarus merupakan kegiatan umat islam.
"Iya sebenarnya dia tidak tahu bahwa kegiatan itu adalah kegiatan umat muslim,"
Atas kejadian itu, polisi kemudian memediasi kedua belah pihak agar tak memancing amarah dari warga yang lain.
"Sudah selesai, Mr Frank memohon maaf kepada Ustadz Ade Syafei dan warga sekitar atas perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi," imbuhnya
melihat kasus diatas, penggunaan pengeras suara atau speaker untuk kegiatan tadarus atau salawat di masjid memang harus melihat kondisi lingkungan sekitar.
Baca: Dituding sebagai Sniper Pembunuh Razan al-Najjar, Wanita yang Fotonya Viral Ternyata Guru
Dikutip dari laman nu.or.id, Sebenarnya tadarus atau pemutaran kaset pengajian dengan pengeras suara masjid atau mushalla untuk sejumlah keperluan tersebut boleh saja.
Tetapi pemutaran kaset itu atau tadarus Al-Quran dengan durasi panjang misalnya lebih dari satu jam juga tidak baik karena dapat mengganggu orang yang memerlukan kondisi tenang.
Pemutaran kaset terlalu lama hanya membuat bising atau polusi suara hingga menggangu aktivitas sebagian masyarakat.
Kebisingan atau polusi suara ini yang dilarang dalam agama.
Jangankan pakai pengeras suara. Tadarus tanpa pengeras suara lalu mengacaukan konsenstrasi orang sembahyang jelas dilarang agama sebagai keterangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Bughyatul Mustarsyidin berikut ini:
فائدة: جماعة يقرأون القرآن في المسجد جهراً، وينتفع بقراءتهم أناس، ويتشوّش آخرون، فإن كانت المصلحة أكثر من المفسدة فالقراءة أفضل، وإن كانت بالعكس كرهت اهـ فتاوى النووي
Artinya, “(Pemberitahuan) sekelompok orang membaca Al-Quran dengan lantang di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal). Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).
Baca: Rencana Bertunangan Kandas, Isak Tangis Sang Kekasih di Pusara Razan Al Najjar Sungguh Sayat Hati
Sayyid Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan lebih lanjut bahwa tadarus Al-Quran, zikir, atau semacamnya hingga membuat polusi suara bukan saja dilarang karena dapat mengganggu orang yang sedang bersembahyang.
Semua itu dilarang dan karenanya harus dihentikan atau dikurangi volume suaranya karena dapat mengganggu sebagian orang lain bahkan mengganggu orang istirahat.
لا يكره في المسجد الجهر بالذكر بأنواعه ، ومنه قراءة القرآن إلا إن شوّش على مصلّ أو أذى نائماً ، بل إن كثر التأذي حرم فيمنع منه حينئذ ، كما لو جلس بعد الأذان يذكر الله تعالى ، وكل من أتى للصلاة جلس معه وشوّش على المصلين ، فإن لم يكن ثم تشويش أبيح بل ندب لنحو تعليم إن لم يخف رياء
Artinya, “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan lantang di masjid tidak makruh kecuali jika menggangu konsentrasi orang yang sedang sembahyang atau mengusik orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan lantang itu lebih banyak mengganggu (menyakiti orang lain), maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dihentikan. Sama halnya adengan orang yang duduk setelah azan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang sembahyang. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya,” (Lihat Sayyid Abdurrahman Ba’alawi, Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Fikr, 1994 M/1414 H], halaman 108).
Pandangan Sayyid Abdurrahman Ba’alawi ini bukan tanpa dasar.
Baca: Mengaku Ditinggal di Mekkah, Ternyata Kakek Ini Sengaja Dipulangkan, Begini Penjelasan Pihak Travel
Sebuah riwayat menceritakan bagaimana Rasulullah yang sedang beritikaf menegur orang yang membaca Al-Quran dengan suara lantang sehingga ibadah itikafnya terganggu sebagaimana kami kutip berikut ini:
عن أبي سعيد قال اعتكف رسول الله صلى الله عليه وسلم في المسجد فسمعهم يجهرون بالقراءة فكشف الستر وقال ألا إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال في الصلاة
Artinya, “Dari Abu Said, ia bercerita bahwa Rasulullah SAW melakukan itikaf di masjid. Di tengah itikaf ia mendengar mereka (jamaah) membaca Al-Quran dengan lantang. Rasulullah kemudian menyingkap tirai dan berkata, ‘Ketahuilah, setiap kamu bermunajat kepada Tuhan. Jangan sebagian kamu menyakiti sebagian yang lain. Jangan juga sebagian kamu meninggikan atas sebagian lainnya dalam membaca.’ Atau ia berkata, ‘dalam shalat,’” (HR Abu Dawud).
Hadits riwayat Abu Dawud ini secara jelas mengangkat persoalan polusi suara. Keterangan ini bisa didapat dari Syarah Abu Dawud sebagai berikut:
عن أبي سعيد) وهو الخدري (ولا يرفع بعضكم على بعض) أي صوته (أو قال في الصلاة) شك من الراوي. قال المنذري: وأخرجه النسائ
Artinya, “(Dari Abu Said) ia adalah Al-Khudri. (Jangan juga sebagian kamu meninggikan) suaranya (atas sebagian lainnya). (Atau ia berkata, ‘dalam shalat.’) keraguan datang dari perawi. Al-Mundziri berkata, ‘Hadits ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai,’” (Lihat Abu Abdirrahman Abadi, Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud, [Yordan: Baitul Afkar Ad-Dauliyyah, tanpa catatan tahun], halaman 626).
Baca: Viral Foto dan Nama Wanita Rebecca Tembak Mati Razan Al Najjar, Simak Kebenarannya Berikut Ini !
Oleh karena itu, pengurus masjid yang akan memutar kaset pengajian atau jamaah yang hendak tadarus Al-Quran dengan pengeras suara masjid atau mushalla perlu mengukur durasi dan memiliki tujuan jelas, yaitu mengingatkan masyarakat akan masuknya waktu shalat atau syiar.
Tetapi pertimbangan durasi ini menjadi penting agar tidak menimbulkan polusi suara atau kebisingan yang tidak perlu.
Artinya, pengurus masjid perlu mempertimbangkan sebagian masyarakat yang sedang sakit, orang perlu istirahat, lansia yang membutuhkan ketenangan, pelajar yang membutuhkan konsentrasi untuk belajar, atau pekerja yang memerlukan suasana kondusif tanpa polusi suara.
Tentu saja ini tidak hanya berlaku untuk pengeras suara masjid, tetapi juga anggota masyarakat, instansi negara maupun swasta yang ingin menggunakan pengeras untuk pelbagai kepentingan. Pada prinsipnya, boleh saja asal tidak mengganggu orang lain.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.(nu.or.id/Alhafiz Kurniawan)