Gaji Honorer Tak Cukup, Tenaga Pengajar di Bogor Cari Sampingan Jadi Tukang Pijat
Rahmat menjadi satu di antara banyak tenaga pengajar berstatus gunu honorer di Kabupaten Bogor.
Penulis: Muamarrudin Irfani | Editor: Yudistira Wanne
Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Muamarrudin Irfani
TRIBUNNEWSBOGOR.COM, CIBINONG - Tenaga pengajar yang berstatus guru honer di Kabupaten Bogor jumlahnya masih banyak.
Pagi itu seorang pria mengenakan kemeja batik dan tas gendong berwarna hitam sedang duduk di depan rumah perwakilan rakyat Kabupaten Bogor.
Pria tersebut bernama Rahmat (52), ia bersama rekan sejawatnya sedang memperjuangkan nasibnya sebagai guru honorer untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Sudah 14 tahun dirinya mengabdi sebagai pencetak generasi insan terdidik di Kabupaten Bogor.
Pahit manis kehidupan sebagai guru sudah ia rasakan, seperti yang diketahui, menjadi guru honor sangatlah memprihatinkan jika membisacarakan soal upah.
Dari penuturan Rahmat, upah guru honorer itu mulai dari Rp 300 ribu, hingga Rp 1 jutaan, sangat jarang sekali guru honorer yang mendapat upah diatas Rp 2 juta perbulannya.
"Gaji guru berbeda-beda tergantung kebijakan sekolah dan kemampuan sekolah itu juga, karena kan kita honor sekolah masuknya bukan honor daerah," ujarnya kepada TribunnewsBogor.com di Gedung DPRD Kabupaten Bogor, Rabu (6/7/2022).
Seolah tak sebanding dengan apa yang dilakukannya untuk mencerdaskan generasi penerus bangsa ini.
Bahkan, dirinya mengaku harus mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mulai dari berjualan sayur, hingga jasa dekorasi ruangan pun ia lakoni untuk terus menghidupi kelurganya, bahkan hingga kini ia masih menjalankan usaha sampingannya sebagai tukang pijat.
"Makanya jangan heran kalau guru-guru honorer sekarang beliau ngajar, pasti diluar jam mengajar itu mereka bekerja lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup, akan tetapi sekalipun mereka guru honor, pekerjaannya tetap sama dengan PNS, disitu beratnya, berat banget, cuma yang beda itu gaji dan tunjangan yang membedakan," ucapnya.
Rahmat mengatakan, usahanya menjadi guru honorer juga tidaklah mudah, setelah tamat sekolah mengah atas, ia mengawali langkahnya di dunia pendidikan dari menjadi pustakawan.
Selama menjadi pustakawan, ia tetap berusaha mencari penghasilan lain untuk bisa berkuliah hingga berhasil mendapatkan gelar sarjana pendidikan yang didapatkannya melalui beasiswa.
"Awalnya saya kuliah di pendidikan itu sudah ngehonor dulu dula tahun, setelah itu diharuskan saya untuk memiliki gelar sarjana pendidikan, terus saya coba daftar dengan biasa pribadi, setelah kurang lebih empat semester, terus katanya ada kabar akan mendapatkan beasiswa dengan syarat IPK harus minimal 2,75, alhamdulillah saat itu saya mencapai nilai IPK 3,04 dan darisitulah diajukan dan mendapatkan beasiswa itu sampe lulus," bebernya.