IPB University
Sebut Petani Perlu Lepas dari Ketergantungan Pemerintah, Pakar IPB University Bagikan Solusinya
Menurut pakar IPB University, Indonesia perlu membangun pemberdayaan riset kelembagaan dan menampung agar petani semakin berdaya atas dirinya sendiri.
TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Awalnya, kelompok tani diinisiasi atas program intensifikasi pertanian berdasarkan kerjasama antar petani.
Namun harus diakui bahwa kini kelompok tani lebih diarahkan untuk memudahkan tugas pemerintah dalam pelaksanaan penyaluran subsidi sarana produksi pertanian kepada petani.
Dr Aceng Hidayat, Dosen IPB University dari Departemen Ekonomi dan Sumberdaya Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen mengatakan, kelompok tani seharusnya bisa berdaya, tidak lagi menjadi memiliki ketergantungan kepada pemerintah.
Ia berbagi mengenai tulisannya tentang Sekolah Tani Millenial Desa (STMD). Menurutnya, tulisannya sangat relevan dengan isu kelompok tani ini.
Ia mengungkap, Indonesia perlu membangun pemberdayaan riset kelembagaan dan menampung agar petani semakin berdaya atas dirinya sendiri.
Namun data statistik berbicara bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis petani dengan tiga indikator.
Yaitu jumlah petani yang terus menurun, usia petani semakin muda, dan kesulitan mencari generasi muda yang berminat bertani.
“Bila dibiarkan regenerasi tidak ada, maka dapat dikatakan Indonesia akan mengalami krisis petani dan berdampak besar pada pembangunan pertanian. Perlu ada semacam sekolah tani informal sehingga menyiapkan calon-calon petani,” ujarnya.
Sekretaris Institut IPB University ini melanjutkan, Indonesia menghadapi kesulitan mencari kader-kader petani milenial.
Jumlah Sekolah Menengah Kejuruan Pertanian (SMKP) di Indonesia sebanyak 500 buah.
Seandainya saja, tiap sekolah menerima rata-rata 200 siswa per tahun, maka akan ada 100.000 orang lulusan SMKP tiap tahunnya.
Dengan asumsi ini, kata Dr Aceng, maka tidak akan kesulitan mencari calon-calon petani milenial.
“Namun demikian, SMKP juga memiliki kurikulum pertanian yang masih terfragmentasi. Sekolah seperti ini menyiapkan lulusannya sebagai pegawai atau profesional di perusahaan bidang pertanian tingkat madya atau mandor. Padahal kader petani perlu dibekali kurikulum yang komprehensif dan terpadu untuk mendukung kemampuan teknis yang mumpuni,” ungkapnya.
Demikian halnya dengan perguruan tinggi pertanian, kurikulum ilmu pertaniannya masih terfragmentasi. Tidak heran bila masih ada kesulitan dalam mencari calon petani.
Di samping itu, petani juga terhimpit tingginya biaya input produksi di tengah risiko produksi yang kian meningkat.