Polisi Tembak Polisi
Tolak Ferdy Sambo Dihukum Mati, Sosok Ini Tegas Sebut Tidak Selalu Nyawa Dibayar dengan Nyawa Lain
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, dirinya menolak mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati.
Penulis: Vivi Febrianti | Editor: khairunnisa
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Hukuman mati terhadap tersangka pembunuhan berencana Brigadir J, Ferdy Sambo rupanya mendapat penolakan dari Amnesty International.
Menurutnya, pada kasus pembunuhan berencana Brigadir J ini masih ada resiko bahwa di kemudian hari tidak terbukti.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, dirinya setuju kalau mantan Kadiv Propam itu harus dihukum setimpal dan seadil-adilnya.
Kalau misalnya kita menggunakan hukum pidana, kan ada dua, pertama pasal 340 pembunuhan berencana, yang kedua obstruction of justice. Pembunuhan berencana jelas dalam hukum pidana kita ada hukuman matinya, sesuatu yang kami tolak," jelasnya dilansir dari Kompas TV, Senin (5/9/2022).
Menurut Usman Hamid, dirinya menolak Ferdy Sambo dihukum mati karena hal itu bertentangan dengan martabat manusia, bertentangan dengan konstitusi dan seterusnya.
"Meskipun pembunuhan itu juga bertentangan dengan martabat manusia?," tanya host.
Ia pun membenarkan bahwa apa yang dilakukan Ferdy Sambo jelas bertentangan dengan martabat manusia.
"Tapi bukan berarti hilangnya nyawa itu harus dibalas dengan hilangnya nyawa yang lain," tegasnya.
"Kalau sekarang ada 4-5 tersangka, menghilangkan 1 nyawa, apakah 5 tersangka itu harus dihukum mati semua? Apakah itu keadilan? belum tentu," lanjut dia.
Baca juga: Ragukan Pengakuan PC Diperkosa J, LPSK Sindir: Korban Seksual Itu Alami Trauma, Ini Nyariin Ketemu
Ia pun menyebutkan, banyak sekali vonis-vonis pengadilan di berbagai negara yang lahir dari sistem peradilan yang tidak benar, sistem peradilan yang akhirnya keliru memvonis seseorang.
"Berdasarkan bukti yang salah, berdasarkan saksi yang salah, apalagi di pemerintahan-pemerintahan yang korup, pemerintahan yang tirad, yang peradilannya tidak independen. Jadi saya kira di dalam pandangan ini kita harus hati-hati," ungkapnya.
Kemudian untuk pasal obstruction of justice, pasal yang dikenakan pada Ferdy Sambo yakni pasal 233 hukum pidana dan pasal 52 hukum pidana.
"Itu yang satu empat tahun penjara, yang satu lagi ditambah dengan sepertiga, artinya bisa sampai 6-7 tahun. Kalau kita pakai di hukuman mati, seumur hidup atau 20 tahu, ditambah dengan 6 tahun itu. Itu pun kalau terbukti. Dalam perkara ini masih ada resiko bahwa di kemudian hari tidak terbukti," bebernya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan, ada komplikasi antara opini publik dengan penegakan hukum soal hukuman terhadap Ferdy Sambo.
"Vonis sudah dijatuhkan publik kepada Ferdy Sambo, bahkan sebelum sidang dimulai. Jadi artinya kasus ini di mata publik sudah clear, cuma menjadi problematik karena dalam konteks penegakan hukum itu tidak bisa didasarkan pada opini atau pesepsi publik," jelasnya masih dilansir dari Kompas TV.
Menurut dia, kasus ini tidak bisa bisa dilepaskan begitu saja dari opini publik.
"Karena kalau tidak ada desakan publik, saya enggak yakin kalau ini bisa terungkap. Jadi karena desakan publik yang sangat kuat, maka kasus ini bisa terungkap," kata dia.
Apalagi Presiden juga sampaik menyampaikan beberapa kali dan akhirnya kapolri mengambil sikap.
Baca juga: LPSK Bongkar 6 Kejanggalan Dugaan Pelecehan Seksual Putri Candrawathi, Masih Mau Bertemu Brigadir J?
"Nah menjadi problematik ketika kasusnya sudah pada on the track, tapi kemudian persepsi publik sudah terbentuk," lanjutnya lagi.
Ia juga mengatakan bahwa kegeraman publik sangat luar biasa kepada Ferdy Sambo.
Hal itu lantas yang membuat publik sudah menjatuhkan vonis bahkan sebelum sidang dimulai.
"Ini jadi problematik ketika misalnya keputusan pengadilan itu tidak sesuai dengan persepsi publik. Misalnya kalau pengadilan tidak sampai pada keputusan untuk menjatuhi hukuman mati, bagaimana legitimasi sosial pengadilan? Sementara vonis publik sudah jatuh," bebernya.
Kemudian yang kedua, kata dia, kalau misalnya kejaksaan, karena bukti yang dibawa polisi tidak mampu menunjukkan motif lain di luar dari pengancaman dan pelecehan seksual sehingga Brigadir J dibunuh, itu juga menimbulkan masalah.
"Karena publik sudah mengaggap Brigadir J dibunuh karena faktor pelecehan seksual. Jadi ini komplikasi opini publik vs penegakan hukum," tandasnya.