Dapat Rumah Bantuan, Ini Alasan Septi Tetap Tinggal di Kampung Mati Meski Jarak ke Sekolah 9 Km
Septi siswi SD di Yogyakarta yang jalan kaki lewati hutan ternyata dapat bantuan rumah dari pemerintah.
Penulis: Vivi Febrianti | Editor: widi bogor
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Dewi Septiani (12) siswi SD di Yogyakarta yang jalan kaki melewati hutan dan sungai untuk pergi ke sekolah, rupanya masih enggan pindah dari rumah terpencilnya.
Padahal keluarga Septi sudah mendapat rumah bantuan dari pemerintah yang jaraknya tidak jauh dari dusun.
Namun orangtua Septi lebih memilih tetap tinggal di rumah terpencil itu.
Setiap harinya, gadis yang akrab disapa Septi itu harus menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 9 kilomenter (km) dari rumahnya di Dusun Watu Belah, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ia berjalan kaki melewati jalan setapak yang terjal menuju ke sekolahnya di SDN Kutogiri di Dusun Parakan, Desa Sidomulyo, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, DIY.
Agar tidak terlambat sampai di sekolah, Septi pun harus berangkat lebih awal.
Septi sudah berkemas sejak pukul 05.00 WIB untuk kemudian berangkat sekolah pada pukul 06.00 WIB.
Ia kemudian pergi sekolah dengan berjalan kaki dari rumahnya dengan diantar sang ayah.
Septi pun harus berjalan kaki sekitar 1,5 sampai 2 km dari rumahnya ke muara gang di pinggir jalan dusun yang letaknya jauh di atas bukit.
"Kalau capek kadang digendong ayah. Sampai di atas menuju ke sekolah sejauh 7 km di antar naik motor," kata Septi dilansir dari Tribun Jogja, Kamis (1/6/2023).
Ia berjalan kaki melewati jalan setapak selebar orang dewasa dengan jalanan tanah yang dipenuhi dengan batuan hitam mencuat.
Bila tak berhati-hati, kaki bisa saja terpeleset atau tersandung batu.
Baca juga: Cita-cita Septi Siswi SD yang Tinggal di Kampung Mati Jogja, Hobi Menggambar, Ingin Jadi Guru Lukis
Di tengah-tengah perjalanan, Septi harus melewati jembatan bambu untuk menyeberangi sungai dengan dasar batu andesit.
Perjalanan dilanjutkan dengan melewati jalan setapak yang ekstrem.
Jalan setapak itu berada di pinggir tebing yang bersebelahan dengan jurang sedalam lebih dari 10 meter.
Jalur itu setiap harinya harus dilewati Septi untuk menimba ilmu.
Setidaknya butuh waktu hampir satu jam jalan kaki menuju pinggir jalan dusun.
Di pinggir jalan dusun, Septi dan ayahnya Sumiran (49) kemudian melanjutkan perjalanan ke sekolah dengan naik motor.
Sepulang sekolah, Septi biasanya membantu ibunya mencuci piring, menyapu halaman rumah dan memberi pakan hewan ternaknya.
Menurut tetangga Sumiran, Gunawan mengatakan, keluarga Septi sudah mendapat bantuan dari beberapa pihak.
Terutama bantuan sosial Program Keluarga Harapan dari pemerintah, mulai dari bantuan untuk keluar pra-sejahtera, KIP dan KIS, hingga bantuan rumah yang lebih dekat dengan perkampungan warga.
Tapi karena adabeberapa hal yang belum selesai, maka bantuan rumah itu belum ditempati oleh orangtua Septi.
Istri Sumiran, Sugiyanti menceritakan, keluarga mereka belum memutuskan pindah ke rumah baru di tengah pedukuhan karena rumah yang ditempati sekarang merupakan rumah tabon atau warisan orangtua.
Turun temurun mereka hidup di sana, hidup dari alam. Mereka juga mudah mendapat kayu bakar, memetik daun singkong dan daun pepaya, dibikin oseng-oseng lalu dimakan.
Baca juga: Tinggal di Kampung Mati Hutan Angker, Septi Siswi SD Jogja Ternyata Senang: Bisa Jaga Hewan-hewanku
Ada pula kelapa, pisang dan banyak tumbuhan yang bisa disayur. Mereka mengambil air yang berlimpah dari mata air di pegunungan.
Sedangkan listrik disalurkan lewat kabel yang ditarik sejauh tiga kilometer dari desa sebelah.
Mereka juga memelihara ayam dan berharap mendapat tambahan asupan dari telur yang dihasilkan.
Sugiyanti mengakui hidup dalam kesederhanaan lantaran suaminya, Sumiran, hanya buruh serabutan yang sesekali menghasilkan uang dari kerja kasar.
Karenanya, penghasilan keluarga minim masih sulit untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Kalau ada rezeki baru bisa beli bawang untuk masak. Kalau tidak ya, masak nasi saja. Tidak pernah beli lauk, ya karena tidak ada (uang),” kata Sugiyanti.
Sekalipun hidup sederhana, mereka tidak berniat pindah mengikuti jejak tetangganya yang lebih dahulu keluar dari Kampung Suci.
Mereka berniat tetap tinggal di sini karena Sumiran dan Sugiyanti belum mampu bekerja menghasilkan upah tetap, sedangkan saat ini semua serba disediakan oleh alam untuk penghidupan sehari-hari.
“Sedangkan kalau untuk uang jajan dan beli peralatan sekolah, kami menjual ayam. Tapi harus berkelahi dulu dengan biawak dan ular yang suka memangsa ayam. Pernah satu hari hilang dua (dimangsa biawak). Sedih rasanya,” kata Sugiyanti.
Septi mengaku betah meski jauh dari keramaian. Ia sering memanfaatkan waktu berteman dengan ayam peliharaan dan anjing penjaga kawasan rumah dari biawak dan ular yang berulang kali mengincar ayam.
Setiap hari, Septi memberi makan peliharaannya itu sambil mengajak bicara.
Sumiran dan Sugiyanti mengaku terus berharap, Septi tumbuh menggapai cita-cita di tengah kehidupan mereka yang penuh prihatin, kekurangan dan berteman sepi.(*)
Cita-cita Septi Siswi SD yang Tinggal di Kampung Mati Jogja, Hobi Menggambar, Ingin Jadi Guru Lukis |
![]() |
---|
Tinggal di Kampung Mati Hutan Angker, Septi Siswi SD Jogja Ternyata Senang: Bisa Jaga Hewan-hewanku |
![]() |
---|
Kondisi Meja Belajar Septi Siswi Kelas 3 SD yang Sekolah Jalan Kaki 3 Km, Ada Gambar Pohon Bertaring |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.