TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Jaksa Penuntut Umum (JPU) menolak seluruh nota pembelaan atau pleidoi terdakwa dalang sejumlah aksi teror di Indonesia, Oman Rochman alias Abu Sulaiman bin Ade Sudarma alias Aman Abdurrahman.
Jaksa tetap ingin Aman Abdrurahman dijatuhi hukuman mati sebagaimana tuntutan.
Hal itu disampaikan JPU dalam sidang pembacaan replik atau jawaban atas pleidoi kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurrachman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (30/5/2018).
"Tim JPU memohon menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana mati, dengan perintah terdakwa tetap dalam tahanan," ujar anggota tim JPU, Anita, saat membacakan replik.
Jaksa Anita menegaskan, Aman Abdurrahman selaku terdakwa terbukti terlibat sebagai otak intelektual atau penggerak dari sejumlah rangkaian aksi teror di Indonesia sepanjang tahun 2016 dan 2017.
Di antaranya aksi teror bom di gereja Samarinda pada 13 November 2016, bom Thamrin pada 14 Januari 2016, bom Kampung Melayu pada 24 Mei 2017, serta penusukan polisi di Mapolda Sumut pada 25 Juni 2017 dan penembakan polisi di Bima, NTB pada 11 September 2017.
Aksi teror itu dilakukan setelah Aman menginisiasi terbentuknya Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Dalam kenyataannya, Aman memang tidak pernah terlibat langsung dalam kelima aksi teror tersebut.
Namun, bagi jaksa, ada dua benang merah yang menjadi fakta kuat.
Pertama, buku seri materi tauhid yang ditulis oleh Aman.
Kedua, pertemuan-pertemuan Aman dengan pengikutnya di Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan, Jawa Tengah.
Buku materi tauhid adalah kumpulan ceraman Aman yang dicetak dalam beberapa seri.
Dalam buku itu, Aman menegaskan bahwa hukum yang layak diperjuangkan hanyalah hukum Allah SWT.
Sebaliknya, penerapan hukum yang berdasarkan Undang-Undang Dasar 1946 hingga sistem demokrasI di Indonesia termasuk tindakan kekufuran.
Pemahaman inilah yang kemudian ditransfer oleh Aman kepada sejumlah pengikutnya, seperti Abu Musa, Abu Gar, Joko Sugito, dan bererapa yang lain.
Pada 2015, beberapa pengikut ini menjenguk Aman yang tengah menjalani hukuman di Lapas di Pulau Nusakambangan selaku terpidana kasus kasus bom Cimanggis dan pelatihan militer di Aceh.
Pada momen tersebut, Aman menyampaikan kepada pengikutnya tentang adanya perintah amaliah dari umaro (pemimpin) Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS di Suriah.
Salah satu perintah itu juga diterima oleh Ali Sunakim alias Afif, pelaku bom Sarinah Thamrin yang pernah menemui Aman langsung di Nusakambangan.
Setelah itu, mulailah terjadi aksi teror di Indonesia.
Oleh karena itu, JPU menilai Aman Abdurrahman terbukti secara sah telah melanggar Pasal 14 juncto Pasal 6, subsider Pasal 15 juncto Pasal 7 dan Pasal 14 juncto Pasal 7 subsider Pasal 15 juncto Pasal 7 Undang-undang Nomor 15 tahun 2003, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam UU tersebut, tindakan yang dituduhkan pada Aman bisa dihukum penjara seumur hidup atau mati.
Dalam sidang pembacaan replik ini, JPU juga meneruskan permohonan korban Bom Thamrin dan Bom Kampung Melayu yang meminta hak kompensasi korban sebagaimana telah diajukan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
"Dibebankan kepada negara melalui Kementerian Keuangan untuk memberikan hak kompensasi sebagai mana rincian nota tuntutan kami yang lalu," jelas Anita.
Ada 16 korban bom Thamrin dan Kampung Melayu yang diajukan JPU dan dimohonkan kepada majelis hakim untuk memutuskan agar negara memberikan hak kompensasi kepada para korban.
Besaran nilai kompensasi untuk para korban bom tersebut mulai Rp 28 juta hingga Rp 132,5 juta.
Silakan Hukum Mati
Dalam sidang tersebut, Aman Abdurrahman selaku terdakwa langsung menyampaikan duplik atas replik tim JPU yang pada intinya tetap menyatakan dirinya bersalah dan menginginkan majelis hakim menjatuhi hukuman mati untuknya.
Aman Abdurrahman berkeras menyatakan dirinya tidak terlibat rentetan aksi teror di Indonesia pada 2016 dan 2017 sebagaimana tuntutan dan replik dari tim JPU.
Namun, ia menyatakan bersedia dihukum mati atas tindakan yang dianggap mengkafirkan pemerintah.
"Saya ingin menyampaikan, ingin mempidanakan kepada saya berkaitan dengan mengkafirkan pemerintahan ini silakan pidanakan, berapa pun hukumannya, mau hukuman mati, silakan," ujar Aman saat memaparkan dupliknya.
"Tapi kalau dikaitkan dengan kasus-kasus semacam itu, dalam persidangan satu pun tidak ada yang dinyatakan keterlibatan saya. Tapi kalau saya mengajarkan mereka untuk bertauhid, dan yang lainnya mendukung khilafah, silakan pidanakan sesuai keinginan Anda semua," sambungnya.
Kuasa hukum Aman Abdurrahman, Asludin Hatjani jug amenyampaikan duplik untuk kliennya.
Asludin menyatakan Aman tidak bisa dituntut hukuman mati karena dituduh dalang dari lima rangkaian teror sebagaimana tuntutan dan replik dari jaksa.
"Dalam perkara ini, JPU tidak bisa membuktikan bahwa terdakwa terbukti secara sah meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme," kata Asludin.
Menurut Asludin, Aman tidak menganjurkan kepada pengikutnya untuk jihad dan amaliyah di negeri sendiri.
Menurutnya, kepentingan Aman sebatas memfasilitasi orang-orang yang ingin hijrah ke Suriah dan melaksanakan jihad ke sana.
Dalam sidang pembacaan pleidoi pada Jumat, 25 Mei 2018, Aman membantah dirinya menjadi otak serangkaian aksi teror di Indonesia.
Menurutnya, tindakan teror demi teror tersebut dilakukan oleh individu.
Aman mengaku tidak mengetahui dan tidak terlibat dalam empat aksi teror sebagaimana dakwaan dan tuntutan dari JPU.
Yakni, aksi bom di Kampung Melayu, Bima, Medan, dan Samarinda.
Ia beralasan tengah mendekam di Lembaga Permasyarakatan Pasir Putih Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, saat kejadian-kejadian tersebut terjadi.
Namun, dia mengakui satu aksi teror yang terjadi di Sarinah Thamrin pada awal 2016.
Ia tahu dari pemberitaan media online setelah bom meledak.
Divonis Usai Idul Fitri
Setelah sidang replik dan duplik ini, sidang kasus terorisme dengan terdakwa pimpinan JAD Aman Abdurrahman akan dilanjutkan dengan pembacaan putusan atau vonis.
Majelis hakim yang diketuai oleh Akhmad Jaini menyampaikan, sidang dengan agenda penting untuk kelanjutan nasib Aman Abdurrahman itu akan digelar pada Juni mendatang setelah Hari Raya Idul Fitri.
"Jadi untuk putusan, setelah bermusyawarah, maka insyaallah kami bacakan pada hari Jumat, 22 Juni pada pukul 09.00 WIB,” ujar hakim Jaini.
Jaini selaku hakim ketua juga meminta agar tim JPU dapat menghadirkan Aman Abduraahman saat sidang pembacaan vonis tersebut.
"Hadirkan terdakwa," lanjutnya.
Sementara itu, pengamanan untuk persidangan pimpinan JAD Aman Abdurrahman di PN Jaksel pada Rabu kemarin tetap dilakukan secara ketat.
Pun demikian dengan pengamanan terhadap fisik Aman Abdurrahman.
Sejumlah anggota tim Densus 88 Antiteror Polri tampak mengenakan seragam dan penutup wajah serba warna hitam lengkap dengan senjata laras panjang di tangan mereka.
Tim penindak aksi teror tersebut dengan terus menenteng senjata laras panjangnya terus menempel terdakwa Aman Abdurrahman saat memasuki dan meninggalkan ruang persidangan.
Bahkan, mereka hanya beberapa meter di tepi ruang sidang saat Aman Abdurrahman duduk di kursi terdakwa.
Menurut Wakapolres Jakarta Selatan, AKBP Budi Sartono, setidaknya ada 278 personel Polri dibantu TNI yang dikerahkan untuk mengamankan sidang Aman Abdurrahman ini.
Ia membantah ada peningkatan jumlah personel pengamanan.
Namun, Budi mengakui ada perubahan pola pengamanan di luar ruang sidang.
"Jadi tidak ada penambahan hanya kungkin polanya yang tadi ada beberapa evaluasi. Untuk beberapa pola pengamanan kita nanti lebih banyak yang tidak berseragam untuk patroli di luar sidang," ujarnya.
Tak hanya itu, strelisasi pun telah dilakukan jelang sidang Aman. Sterilisasi telah dilakukan sejak pukul 06.00 WIB pagi atau beberapa jam sebelum sidang dimulai.
Jumlah personel dan metode pengamanan untuk persidangan Aman Abdurrahman di PN Jaksel memang ditingkatkan oleh kepolisian pasca-terjadi rententan teror usai terjadi kerusuhan ratusan napi teroris di Rutan Mako Brimob Depok, Jawa Barat pada 8 Mei 2018. (Tribun Network/den/coz)