TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto disebut tak akan membawa hasil Pemilu 2019 ke Mahkamah Konsititusi (MK).
Hal itu dikarenakan Prabowo Subianto memiliki pengalaman buruk terhadap MK di tahun 2019.
Sementara itu, Tim Kampanye Nasional menduga Prabowo-Sandi tak memiliki bukti kuat untuk di bawa ke MK atau takut ditolak lagi.
Namun, menurut Dewan Penasihat DPP Partai Gerindra Raden Muhammad Syafi'i, pihaknya sudah tidak percaya lagi terhadap Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, setelah pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh KPU, kata dia, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tidak akan mengajukan gugatan ke MK.
Hal ini dia sampaikan ketika ditanya mengenai langkah konkret kubu 02 setelah KPU mengumumkan hasil pemilu nantinya.
Pasalnya, Prabowo Subianto telah menyatakan menolak hasil pemilu dari KPU.
"Di 2014 yang lalu kita punya pengalaman yang buruk dengan MK," ujar Syafi'i di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Syafi'i mengatakan, Prabowo Subianto pernah mengumpulkan bukti kecurangan sampai 19 truk dokumen C1 pada Pilpres 2014.
Namun, MK tidak melakukan pemeriksaan terhadap dokumen tersebut satu per satu.
• Prabowo Tolak Hasil Perhitungan Suara KPU Heran : Jadi yang Ditolak Apanya, Wong Hasilnya Belum Ada
Alasannya ketika itu, kata dia, karena bukti yang dibawa tidak akan mengubah hasil akhir perolehan suara secara signifikan.
"Kalau hari ini yang pemilunya curang itu saya pikir datanya bisa lebih dari 19 truk. Kami punya keyakinan MK tidak akan melakukan pemeriksaan sama seperti pemilu lalu," ujar Syafi'i.
"Jadi MK enggak," tambah dia.
Senada, hal itu juga disampaikan oleh anggota Dewan Pengarah BPN, Fadli Zon.
Dilansir dari Kompas.com, Fadli Zon mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menempuh jalur tersebut karena merasa sia-sia dan tidak yakin MK dapat menyelesaikan sengketa hasil perolehan suara pilpres.
"Jadi kalau tadi Mahkamah Konstisusi, saya katakan, kemungkinan besar BPN tidak akan menempuh jalan Mahkamah Konstitusi karena di 2014 kami sudah mengikuti jalur itu dan kami melihat bahwa Mahkamah Konstitusi itu useless dalam persoalan pilpres," ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
• Ali Ngabalin Pernah di Barisan Prabowo: Dulu Otak Saya Akal Sehat, Tidak Mengajak Orang People Power
Fadli Zon mengatakan, pada 2014 pihaknya mengajukan gugatan sengketa hasil pilpres ke MK.
Saat itu Prabowo Subianto berpasangan dengan cawapres Hatta Rajasa. S
esuai keputusan KPU, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla memperoleh suara sebesar 53,15 persen mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan perolehan suara 46,85 persen.
Lantas kubu Prabowo-Hatta mengajukan gugatan sengketa ke MK. Namun, kata Fadli, bukti-bukti kecurangan yang diajukan tidak dibuka saat persidangan.
"Tidak ada gunanya itu MK karena pada waktu itu maraton sidang-sidang, tapi buktinya pun tidak ada yang dibuka, bahkan sudah dilegalisir, sudah pakai meterai," kata Fadli Zon.
"Sudah, buang-buang waktu itu yang namanya MK dalam urusan pilpres, apalagi orang-orangnya itu berpolitik semua. Mungkin tidak semualah tapi sebagian," ucap Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
• Ungkap Fakta Kecurangan Pilpres, Momen Prabowo dan Neno Warisman Berpegangan Tangan Jadi Sorotan
Sementara itu, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Maruf Amin, Ace Hasan Syadzily, menilai Prabowo Subianto tak memiliki bukti kecurangan sehingga memutuskan tak membawa hasil Pilpres 2019 ke MK.
Ia mengatakan, sikap Prabowo Subianto yang seperti itu menunjukkan mereka tidak mau mengikuti proses yang telah diatur dalam konstitusi dan undang-undang.
"Hal ini bisa jadi disebabkan karena dua hal, pertama, karena memang mereka tidak memiliki bukti yang cukup tentang klaim kecurang tersebut sehingga khawatir ditolak kembali oleh MK seperti yang terjadi pada Pilpres 2014," kata Ace melalui pesan singkat, Rabu (15/5/2019).
"Atau kedua, memang mereka tidak memiliki sikap mental yang tidak siap kalah sehingga selalu membangun narasi kecurangan agar tidak kehilangan muka di depan para pendukungnya," lanjut dia.
Ia mengatakan Prabowo Subianto semestinya menghormati siapapun yang terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 22 Mei sebagai pilihan sah rakyat Indonesia.
Ia menambahkan, protes terhadap hasil Pemilu 2019 yang sah sebaiknya tak perlu mengatasnamakan rakyat sebab justru tak menghargai hasil pilihan rakyat.
• Prabowo Tolak Hasil Pilpres - Demokrat: Buktikan Saja di MK, Tapi Jangan Sampai Mengadu-ngadu Rakyat
"Sekali lagi, seharusnya mereka menyadari bahwa people power itu ya tanggal 17 April itu dimana 81% rakyat Indonesia telah menjatuhkan pilihannya dalam pemilu. Hormati dan terima pilihan rakyat itu," papar Ace.
"Di luar itu, tak seharusnya mengatasnamakan rakyat, apalagi mengklaim kedaulatan rakyat," lanjut dia.
Sebelumnya, Prabowo Subianto menyatakan akan menolak hasil penghitungan suara Pemilu 2019 yang dilakukan oleh KPU.
Pasalnya, Prabowo menganggap telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu, dari mulai masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara yang saat ini masih berjalan.
Hingga Selasa (14/5/2019) malam, hasil rekapitulasi 19 provinsi telah ditetapkan dalam rapat pleno rekapitulasi di Kantor KPU.
Hasilnya, pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin menang di 14 provinsi.
Sedangkan paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang di 5 provinsi.
• Silaturahmi Bogor untuk Indonesia Tepis Isu People Power ? Bima Arya : Nanti Nyanyi Bareng
Sementara ini, jumlah perolehan suara Jokowi Ma'ruf unggul dengan 37.341.145 suara.
Sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 22.881.033 suara. Selisih perolehan suara di antara keduanya mencapai 14.460.112.
Namun, BPN belakangan mengklaim, berdasarkan data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, perolehan suara Prabowo-Sandi unggul.
Hingga Selasa (14/5/2019), pasangan Prabowo Subianto -Sandiaga disebut memperoleh suara sebesar 54,24 persen atau 48.657.483 suara.
Sedangkan pasangan Jokowi-Ma-ruf Amin memperoleh suara sebesar 44,14 persen.
(Kompas.com/Tribunnews.com)