Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Yudistira Wanne
TRIBUNNEWSBOGOR.COM, BOJONGGEDE - Sebelas tahun menjadi Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK) Bojonggede, Kabupaten Bogor membuat Asep Suhana memiliki banyak cerita.
Pria yang karib disapa Cepoy itu bercerita terkait salah satu tugasnya sebagai TKSK di Kecamatan Bojonggede, yakni menangani Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Cepoy menjelaskan bahwa selama pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia sejak bulan Maret lalu, dia telah menangani ODGJ dengan jumlah puluhan orang.
"Selama pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia, khusus di Kecamatan Bojonggede, ada 20 ODGJ, itu yang terlantar dan kebanyakan kita tidak tahu asal-usulnya," ujarnya.
Lebih lanjut, Cepoy mengaku sedikit kesulitan saat menangani ODGJ yang agresif sehingga dirinya perlu bantuan dokter untuk menenangkan ODGJ tersebut.
"Ada yang pernah kita bius di Raga Jaya. Dibius sama dokter karena kondisinya ngamuk," jelasnya.
Sementara itu, Cepoy menjelaskan bahwa ODGJ yang ditemuinya memiliki latar belakang permasalahan yang berbeda-beda di antaranya yakni putus cinta hingga himpitan ekonomi.
"Dasarnya pasti ekonomi. Yang sering ditemukan itu karena depresi, seperti di Kedung Waringin putus cinta, itu cewe. Kemudian, di Waringin Jaya karena belajar ilmu atau berguru. Tapi di Raga Jaya banyak rata-rata putus cinta. Seperti ada yang stres dia jalan mengelilingi Raga Jaya. Hampir 34 orang di Raga Jaya," tegasnya.
Dalam penanganannya, Cepoy mengaku kerap berhadapan dengan bahaya lantaran tak sedikit ODGJ memegang benda senjata tajam.
"Nah, yang bawa pisau, itu dari Pabuaran. Kita tangani, ternyata dia bawa 2 pisau. Kata warga sekitar, dia memang suka ngarit. Waktu kita mau amankan dia bawa parang. Pas di dalam mobil ternyata di kantongnya masih ada pisau. Tapi saat di dalam mobil, dia tenang dan kita bawa ke RS Marzuki Mahdi," tegasnya.
Tak hanya itu, Cepoy juga kerap menemukan kisah pilu terkait ODGJ.
"Ada lagi di Waringin Jaya, 18 tahun dikurung di kamar. Ketika dikeluarin, ternyata dia pergi ke danau dan tenggelam. Sempat dibawa ke RS Marzuki Mahdi, sempat sembuh juga. Sebenernya diurusin, sejak umur 10 tahun sudah mulai meresahkan," ungkapnya.
Berangkat dari pengalamannya selama 11 tahun menjadi TKSK, Cepoy bercita-cita memiliki rumah singgah untuk penderita ODGJ.
"Saya punya cita-cita punya rumah singgah, jadi orang terlantar bisa tinggal disitu dulu sebelum dijemput keluarga," paparnya.
Cepoy mengungkapkan, alasannya memilih menjadi relawan TKSK selama 11 tahun lantaran sejak masih kuliah selalu rutin mengukuti kegiatan sosial.
"Jadi TKSK itu sendiri se-Indonesia 1 kecamatan 1 orang. Sudah 11 tahun jadi TKSK. Dulu anak pecinta alam dari Mapala, begitu lulus sekolah ada Pelajar Islam Indonesia, banyak kegiatan sosial. Tahun 2007 turun ke banjir jakarta, nyebrangin orang, bawain barang," paparnya.
"Tahun 2009 masuk Tagana lalu masuk di TKSK. Awalnya tidak tahu TKSK kerjanya apa. Seiring berjalannya waktu kita ngurusin ODGJ, orang terlantar, lalu bantuan-bantuan dari pemerintah kita dampingin," tambahnya.
Cepoy pun mengatakan bahwa pengalaman paling berkesan sebagai relawan TKSK adalah menangani ODGJ.
"Yang paling mengesankan yaitu susahnya menangani ODGJ. Apalagi dia terlantar. Kita tidak tahu asalnya dari mana dan bingung mau dibawa kemana. Kita harus kordinasi dulu, sedangkan kita hanya ada rumah transit di Bogor, di Balai Kesejahteraan Sosisal Citereup," ungkapnya.
Sedangkan hal yang paling menyenangkan, Cepoy menegaskan bahwa menjadi relawan TKSK memiliki banyak rekan.
"Yang paling saya senangi dari TKSK adalah jejaring yang terbentuk, bisa bantu banyak orang," tandasnya.