IPB University

Surplus Beras dan Polemik Impor di Indonesia, Ini Kata Guru Besar IPB University

Editor: Tsaniyah Faidah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - BPS secara eksplisit menyatakan tidak ada impor beras reguler. Artinya, beras yang diimpor hanya untuk keperluan khusus, seperti beras basmati dan sebagainya.

TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Selama tiga tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus beras.

Badan Pusat Statistik (BPS) secara eksplisit menyatakan tidak ada impor beras reguler. Artinya, beras yang diimpor hanya untuk keperluan khusus, seperti beras basmati dan sebagainya.

Hal tersebut disampaikan oleh Prof Yusman Syaukat, Dosen IPB University dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen dalam Focus Group Discussion (FGD) Pusat Kajian dan Pertanian Pangan dan Advokasi (PATAKA). 

“Dari data survei cadangan beras yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian dan BPS menunjukkan cadangan beras sebagian besar berada di tangan rumah tangga, disusul dengan pedagang,” katanya.

Ia meragukan bahwa rumah tangga melakukan penimbunan beras. Dikarenakan rumah tangga terbagi dua, rumah tangga petani dan non petani. Bila hal tersebut benar, maka sebagian besar yang disimpan petani berbentuk gabah, bukan beras.

Terlebih lagi, imbuhnya, surplus beras terjadi hanya pada saat musim panen tertinggi saja. Yakni saat periode Maret-April menjelang lebaran.

Di sisi lain, berdasarkan data BPS, sejak tahun 2019 hingga kini tidak ada impor beras umum. Setiap tahun surplus beras sehingga beras melebihi konsumsi masyarakat.

Ia menjelaskan, dengan menggunakan asumsi konsumsi di tahun 2021 sebesar 30,3 juta ton, maka stok beras lebih dari 18 persen hingga 20 persen kebutuhan pangan untuk tiga bulan (sesuai rekomendasi The Agricultural Market Information System/AMIS).

“Rendahnya cadangan beras pemerintah (CBP) dalam menjaga ketahanan pangan nasional dikhawatirkan akan menyebabkan peningkatan harga beras,” ungkapnya.
Masalah kedua, imbuhnya, perbedaan data produksi dan konsumsi beras sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antara lembaga-lembaga terkait.

Menurutnya, lembaga-lembaga yang mengurusi pangan lebih terkoordinasi dalam melakukan estimasi dan mengungkapkan indikator ketahanan pangan.

"Kebijakan pemerintah harus lebih mengutamakan petani. Tidak sekedar nasionalisme, pengadaan cadangan pangan dari dalam negeri akan meningkatkan kepercayaan diri petani dalam produksi padi. Hal ini juga meningkatkan kesejahteraan mereka,” katanya.

Ia turut merekomendasikan bahwa diversifikasi pangan harus dikembangkan. Setiap tahunnya pada periode Januari-Februari dan Oktober-Desember, selalu terjadi defisit beras.

Hal ini diakibatkan dari variabilitas musim dan spasial daerah produksi.

“Potensi panen setiap wilayah dan antar pulau juga sangat bervariasi. Sehingga upaya pengadaan dan penyimpanan beras maupun impor beras harus benar-benar dilakukan secara hati-hati,” ujar Prof Yusman.

Berita Terkini