Sosok Dewi Kencana, Patungnya yang Dibangun di Puncak Bogor Tuai Polemik, Warga Minta Dibongkar

Penulis: Naufal Fauzy
Editor: Naufal Fauzy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kehadiran patung Ratu Kencana di kawasan Puncak Bogor menuai polemik. Warga Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor menuntu patung itu dibongkar, Jumat (19/4/2024)

TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Patung diduga Patung Dewi Kencana berukuran raksasa yang dibangun di kawasan Puncak Bogor tepatnya di kawasan Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor menuai polemik.

Meski patung tersebut dibangun di salah satu kawasan wisata, sejumlah warga dari kalangan santri dan ulama di Puncak Bogor menuntut agar patung tersebut segera dibongkar.

Kehadiran patung raksasa ini mendapat protes dari sebagian warga Puncak Bogor, khususnya warga Desa Tugu Selatan.

"Kami, bersama ulama Puncak Bogor dan warga Tugu Selatan menolak patung ini. Kami sudah mengirim surat resmi kepada pemilik Pakis Hills untuk segera membongkar patung tersebut," kata Kepala Desa Tugu Selatan, Eko Windiana kepada TribunnewsBogor.com, Jumat (19/4/2024).

Lalu siapa sebenarnya sosok Dewi Kencana ini ?

Berikut ini paparan terkait sosok Dewi Kencana yang mana patungnya di kawasan Puncak Bogor mendapat protes dari warga.

Dikutip dari Kompas.com, sepanjang sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit, terdapat dua pemimpin perempuan.

Salah satunya adalah Tribhuwana Tunggadewi (1328-1350), putri dari Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.

Lalu pada akhir kekuasaan Majapahit, satu perempuan kembali menempati posisi ratu, yaitu Dyah Suhita atau Ratu Kencono Wungu atau yang disebut-sebut sebagai Dewi Kencana.

Menurut NJ Krom, Ratu Suhita atau Dyah Suhita merupakan putri dari Bhre Wirabhumi.

Hal ini berbeda dengan Kitab Pararaton, yang menjelaskan bahwa Dyah Suhita merupakan cucu dari Bhre Wirabhumi.

Pendapat lain menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan putri penguasa kelima Majapahit, Wikramawardhana (1389-1429), dari selirnya.

Ada juga yang menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan anak dari Wikramawardhana dengan Kusumawardhani.

Sedangkan pendapat paling kuat menjelaskan bahwa Dyah Suhita adalah anak dari Wikramawardhana, yang memperistri putri kakak ipar sekaligus musuhnya.

Terlepas dari perbedaan pendapat terkait asal-usulnya, Dyah Suhita merupakan putri yang menikah dengan Aji Ratnapangkaja.

Aji Ratnapangkaja adalah salah satu pimpinan militer yang turut berperan dalam Perang Paregreg (1404-1406) melawan Bhre Wirabhumi dari Blambangan.

Setelah Bhre Wirabhumi kalah dalam Perang Paregreg dan terbunuh pada 1406, Wikramawardhana memimpin Majapahit hingga 1429.

Sepeninggal Wikramawardhana, terjadi kebingungan siapa yang berhak memimpin Kerajaan Majapahit.

Dalam Kitab Pararaton, disebutkan bahwa Wikramawardhana sempat menunjuk anaknya dari Kusumawardhani, yakni Rajakusuma atau Hyang Wekasing Putra, sebagai penerusnya.

Namun, Hyang Wekasing Putra mati muda. Begitu pula dengan putra Wikramawardhana dari selirnya, Bhre Tumapel, yang juga meninggal.

Keturunan Wikramawardhana hanya tersisa Dyah Suhita dan Bhre Kertawijaya, yang sama-sama dari selir.

Akhirnya, Dyah Suhita ditunjuk sebagai pemimpin Majapahit karena lebih tua dari Bhre Kertawijaya.

Dyah Suhita dilantik menjadi Ratu Majapahit pada 1429. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Dyah Suhita merupakan orang yang sama dengan Ratu Kencana Wungu.

Diberitakan sebelumnya, warga Puncak Bogor dihebohkan dengan berdirinya sebuah patung raksasa di objek wisata Pakis Hills, yang terletak di Desa Tugu Selatan, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Patung raksasa tersebut diduga sebagai Patung Dewi Kencana atau Ratu Kencono Wungu, yang merupakan seorang pemimpin perempuan Kerajaan Majapahit dengan nama asli Dyah Suhita.

Kehadiran patung raksasa ini mendapat protes dari sebagian warga Puncak Bogor, khususnya warga Desa Tugu Selatan.

"Kami, bersama ulama Puncak Bogor dan warga Tugu Selatan menolak patung ini. Kami sudah mengirim surat resmi kepada pemilik Pakis Hills untuk segera membongkar patung tersebut," kata Kepala Desa Tugu Selatan, Eko Windiana, pada TribunnewsBogor.com, Jumat (19/4/2024).

Eko menjelaskan bahwa keberadaan patung raksasa ini dapat berdampak negatif terhadap masyarakat, terutama di Desa Tugu Selatan.

Karena warga Puncak Bogor masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal.

"Surat yang kami kirim merupakan upaya kami untuk mencegah konflik. Kami ingin memastikan bahwa tindakan tersebut tidak menimbulkan ketegangan di antara warga dan ulama," jelasnya.

Ia menyatakan bahwa sebagian masyarakat Desa Tugu Selatan, terutama santri dan para ulama, menginginkan patung raksasa Dewi Kencana tersebut dibongkar karena mereka khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

"Saya merasa khawatir karena sudah ada ancaman dari sebagian santri yang menginginkan patung ini dibongkar. Kami ingin mencegah terjadinya konflik, oleh karena itu kami mengirimkan surat resmi," tambahnya.

Sementara itu, Manager Area Pakis Hills, Alexander, menjelaskan bahwa patung raksasa Dewi Kencana dengan tinggi 12 meter tersebut hanya digunakan sebagai spot foto yang dibangun dari bambu.

"Patung ini bukan untuk disembah, melainkan hanya sebagai spot foto. Bahan patungnya pun terbuat dari alam, yaitu bambu, sehingga tidak akan bertahan lama," jelas Alex.

Terkait penolakan terhadap patung tersebut, pihaknya berencana untuk menggelar musyawarah dengan warga Puncak Bogor, khususnya para ulama di Desa Tugu Selatan.

"Akan mengadakan musyawarah, semoga masalah ini bisa segera diselesaikan," pungkasnya.

Berita Terkini