Pilpres 2019

Tanggapi Puisi Cak Nun 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin', Ini Kata Kader Demokrat

Dalam tulisan tersebut, Ferdinand Hutahaean menyebut bahwa kini partai politik memperkenalkan calon(presiden) dengan mendustakan kenyataan.

Penulis: Uyun | Editor: Vivi Febrianti
kolase Tribunnews
Ferdinand Hutahaean dan Cak Nun atau Emha Ainun Najib 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Politikus sekaligus kader Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean menanggapi portal berita yang memberikan judul 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin'.

Judul artikel tersebut mengacu pada tulisan Emha Ainun Najib atau Cak Nun, seorang seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.

Ferdinand Hutahaean pun memberikan tanggapannya dengan menuliskan beberapa kalimat hasil pemikirannya, Minggu (16/9/2018).

Dalam tulisan tersebut, Ferdinand Hutahaean menyebut bahwa kini partai politik memperkenalkan calon (presiden) dengan mendustakan kenyataan.

Ia bahkan menyindir bahwa kini, calon pemimpin lebih banyak ditampilkan lewat pencitraan sedemikian rupa di muka publik.

Tak tahu untuk siapa tanggapan Ferdinand Hutahaean ini ditujukan.

Namun, hingga kini banyak yang mengomentari perihal cuitan Ferdinand di Twitter pribadinya.

"Karena partai politik memperkenalkan calonnya dengan mendustakan kenyataannya.

Calon pemimpin ditampilkan dengan pencitraan, pembohongan, di make-up sedemikian rupa, dibesar-besarkan, dibaik-baikkan, diindah-indahkan, dihebat-hebatkan" tulis Ferdinand Hutahaean di akun Twitternya, @LawanPolitikJKW.

cuitan Ferdinand Hutahaean
cuitan Ferdinand Hutahaean (Twitter @LawanPolitikJW)

Ketum Kongres Wanita Menolak Dipanggil Emak-emak, Politikus Demokrat: Banyak yang Suka, Mau Apa Lu?

TribunnewsBogor.com melansir dari laman website caknun.com, sebenarnya judul puisi yang sebenarnya itu bukan 'Ketika Boneka Menjadi Pemimpin', melainkan 'Pemimpin Tanpa Rasa Bersalah'.

Puisi Emha Ainun Najib atau akrab disapa Cak Nun ini diunggah pada 2 Agustus 2017.

Begini puisi selengkapnya:

Di tengah Bapak kami bercerita tentang “Kenapa Bukan Sunan Kalijaga saja yang jadi Sultan”, “Kenapa pendiri Jombang tidak duduk memimpin Jombang”, “Amanah Cincin dari Mbah Kholil Bangkalan”, “Aliran Pencak Silat Ki Tebuireng” — Kakak lagi-lagi mengejar soal rasa bersalah sebagai modal utama pada jiwa seorang pemimpin.

Karena di tengah kisah-kisah itu Bapak nyeletuk: Rakyat yang paling sial di suatu desa, atau yang paling celaka di suatu Negara, adalah kalau pemimpinnya tidak punya rasa bersalah.

“Apa ada pemimpin yang seperti itu”, Kakak nyeletuk.

“Kenapa tidak”, jawab Bapak, “Banyak faktor yang bisa menjadi sebab seorang pemimpin tak punya rasa bersalah”

“Contohnya, Pak”

“Banyak sekali. Umpamanya: orang menjadi pemimpin karena ambisi pribadi. Menjadi pemimpin karena karier. Menjadi pemimpin karena direkayasa oleh sindikat penjudi dan penjahat. Menjadi pemimpin untuk menumpuk kekayaan…”

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved