PSK Asing di Puncak Tarifnya Jutaan Sekali Kencan
Untuk memesang magribi kata Herman, konsumen berkomunikasi lewat handphone dengan mucikari.
Penulis: Ardhi Sanjaya | Editor: Soewidia Henaldi
Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Ardhi Sanjaya
TRIBUNNEWSBOGOR.COM, BOGOR TENGAH - Pekerja Seks Komersial (PSK) asing masih berkeliaran di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor.
Meski beberapa kali dirazia petugas Imigrasi Bogor, namun keberadaan PSK asing itu tidak pernah hilang.
"Ada mucikari yang memasok. Sudah dideportasi ke negara asalnya, beberapa bulan kemudian, datang lagi," ujar Kepala Imigrasi Bogor, Herman Lukman.
Para PSK yang kebanyakan berasal dari Timur Tengah itu mematok tarif bervariasi, mulai dari Rp 6-10 juta sekali kencan.
Kehadiran wanita berhidung mancung dan berkulit kuning itu karena kawasan Puncak menjadi salah satu lokasi tempat berlibur wisatawan asal Timur Tengah dan para imigran.
"Terakhir, akhir 2015 lalu, kami operasi itu dapat delapan orang, sama mucikarinya empat orang, langsung kami serahkan ke Direktorat lalu dideportasi ke negara asal," kata Herman Lukman, kepada TribunnewsBogor.com, Kamis (28/1/2016).
PSK asing yang biasa disebut Magribi ini, punya berbagai modus dan strategi dalam menjajakan tubuhnya.
Mulai dari tempat tinggal yang sangat tersembunyi, sistem pemesanan, hingga strategi saat bertransaksi.
Menurut Herman, saat ini magribi tinggal terpisah, di sebuah villa yang disediakan oleh penyedia jasanya.
"Dulu kan disatukan dalam satu rumah tapi karena sering kena razia, sekarang tinggalnya berpencar," katanya.
Untuk memesang magribi kata Herman, konsumen berkomunikasi lewat handphone dengan mucikari.
Kemudian konsumen bertemu mucikari untuk di lokasi yang sudah disepakati.
"Tarifnya rata-rata Rp 6 juta lebih, kalau deal yah angkut, cuma perempuan ini tidak mau sama orang lokal," ujar Herman.
Aparat kerap kesulitan menangkap PSK asing ini, sebab mereka dilindungi jaringan yang cukup rapi.
"Misal sudah deal, dari rumah pakai mobil, terus ditengah jalan ganti lagi mobil lagi terakhir pakai ojek," katanya.
Umur para PSK itu rata-rata masih muda, antara 20-25 tahun.
Namun, karena perawakan mereka tinggi besar, sehingga sepintas usia mereka sudah tua.
"Yang dibawah 20 tahun juga ada," katanya.
Perempuan ini sengaja didatangkan untuk melayani warga Timur Tengah juga yang sedang berlibur di Puncak.
"Rata-rata wajahnya memang cantik, tapi lebih dari itu mereka juga tenaganya kuat," ujarnya.
Kepribadian Seks Pria
Praktik jual dan beli seks pada umumnya bersifat ilegal di banyak negara.
Namun, hal itu tak menghalangi kaum lelaki, terutama di China, Spanyol, Jepang dan Amerika, yang merupakan negara dengan aktivitas prostitusi tertinggi di dunia, untuk terlibat di dalamnya.
Menggunakan data dari program kesehatan masyarakat dan inisiatif penegakan hukum, Havoscope (perusahaan yang mengumpulkan data pada aktivitas pasar gelap) berhasil mengungkap estimasi penghasilan dari pekerja seks di berbagai negara.
Indeks tersebut menunjukkan China mengeluarkan dana paling besar dalam prostitusi, yakni sekitar 73 miliar dollar AS pertahun.
Spanyol di urutan kedua, menghabiskan sekitar 26,4 miliar dollar AS, Jepang di urutan selanjutnya dengan pengeluaran 24 juta dollar AS.
Sementara itu di Indonesia beberapa waktu lalu dihebohkan dengan berita penangkapan mucikari dari artis yang diduga terlibat dalam prostitusi online.
Tarif dari para artis itu mencapai puluhan, bahkan ada yang ratusan juta rupiah.
Gambaran itu menunjukkan bahwa prostitusi adalah industri yang subur.
Tapi, kita tentu juga ingin tahu mengenai para konsumen industri ini.
Ilmu sains punya jawabannya.
Profil psikologis
Laki-laki yang membayar untuk aktivitas seks, menurut sebuah studi di 2015 yang dilakukan oleh para peneliti di University of California, Los Angeles, bukan semata lelaki kesepian.
Para pria yang membeli seks bukan cuma mempunyai sedikit rasa empati terhadap perempuan, tetapi juga cenderung bisa melakukan tindakan pemerkosaan ke depannya.
Dalam perbandingkan terhadap 100 pria yang melakukan aktivitas prostitusi dengan 100 pria yang tidak, peneliti menemukan bahwa mereka yang membayar untuk berhubungan seks menunjukkan perilaku agresif seksual yang lebih tinggi.
Mereka cenderung antisosial, tidak melibatkan perasaan personal saat bercinta dan mengekspresikan maskulinitasnya dengan cara yang salah.
"Hasil studi itu bisa mengubah mitos yang menyebutkan pembeli seks cuma pria biasa yang frustasi secara seksual," kata Melissa Farley, direktur Prostitution Research and Education, sebuah organisasi nirlaba.

Wartakota/PSK asing di Puncak
Penelitian lain yang sedikit berbeda menyebut bahwa para pria pelanggan seks berbayar ini umumnya memiliki kebutuhan intimasi emosional.
Itu merupakan hasil studi pada tahun 2012 yang mengamati 394 percakapan di website The Erotic Highway, sebuah serikat internasional untuk "penghibur erotis".
Hasilnya adalah sekitar sepertiga pria yang melakukan percakapan ini dilaporkan memiliki "romantisme yang terbatas atau koneksi emosional kepada pekerja seks, atau sebaliknya murni hanya menginginkan fisik para pekerja seks."
Selain itu, para peneliti juga menemukan sebagian pria memang memiliki sikap negatif terhadap pekerja seks dan banyak juga dari mereka yang tampaknya menghormati wanita-wanita pekerja seks tersebut.
Beberapa pria terkadang mempunyai hubungan emosional yang mendalam, memperkenalkan nya kepada keluarga mereka, atau bahkan sampai meninggalkan istri karena terpikat pada PSK.
Kesehatan fisik
Tak hanya memengaruhi mental, prostitusi juga memiliki efek kesehatan terhadap pria yang melakukannya dan tentu pasangannya, termasuk istri mereka.
Risiko terinfeksi penyakit menular seksual sangat tinggi, terutama pada mereka yang tidak menggunakan kondom atau melakukan seks berganti-ganti pasangan.
Sayangnya, menurut sebuah penelitian makin berumur pria "hidung belang", makin malas mereka memakai kondom.
Kepribadian seseorang memang sulit diubah, tapi ada beberapa cara yang direkomendasikan bagi pembuat kebijakan untuk menurunkan risiko penularan penyakit.
Sebagai contoh, pakar dari WHO menilai pendekatan dekriminalisasi pekerja seks dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Melegalkan prostitusi dengan cara membuat lokalisasi dinilai bisa membuat pemerintah lebih mudah mengontrol, terutama dalam hal upaya pencegahan infeksi menular seksual.
Sebuah studi pada tahun 2014 oleh UCLA menemukan bahwa langkah-langkah ini dapat mengurangi penularan infeksi menular seksual secara dramatis pada masyarakat umum.
Ini dibuktikan di Rhode Island yang telah melegalkan prostitusi selama 6 tahun dari 2003-2009.
Dalam jangka waktu tersebut, ada sekitar kurang dari 2000 kasus gonorea pada “pasar” seks dan juga penduduk pada umumnya.
Mungkin sulit untuk mengubah perilaku orang-orang yang membayar untuk seks atau pekerjanya.
Namun, ada harapan untuk membuat aktivitas tersebut lebih aman.
Sayangnya, hal tersebut mungkin akan menghadapi hambatan di berbagai negara.
Hubungan penjual dan pembeli seks akan tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi.