Karyawati Cantik Menghilang Usai Ambil THR, Keluarga Tanya ke 'Orang Pintar' Ini Katanya
Terakhir kali putrinya berkomunikasi melalui telepon seluler dengan pacarnya, Maulana, sekitar pukul 10.00 WIB.
Penulis: Yudhi Maulana Aditama | Editor: Soewidia Henaldi
"Nah makanya istri-istrinya pada menjanda, dan longsor yang menelan korban jiwa di sana bukan sekali dua kali saja," jelasnya.
Selain itu, faktor nikah muda di kampung tersebut juga menjadi penyebab banyaknya perempuan yang menjanda.
"Di sini ada yang umur 17 tahun sudah jadi janda dua kali, 12-14 sudah pada menikah dan jadi janda. Saya saja sudah punya cucu, padahal usia masih 30 tahunan," ujarnya sambil tertawa.
Karena minimnya pendidikan, akhirnya para orang tua memutuskan untuk menikahkan anak perempuannya meski masih berusia dini.
"Rata-rata di sini mah lulusan SD semua, jarang ke SMP. Mau sekolah SMP apalagi ke SMA jauh, cuma ada SD di sini. Makanya daripada bengong-bengong di rumah ya sudah nikahin saja," jelasnya.
Kampung Janda atau Kampung Panyarang ini, masuk dalam kawasan RW 07, dan terdiri dari lima RT.
"Rata-rata satu RT itu ada sekitar 60 KK, jadi satu RW ada sekitar 300 KK, saya nggak hafal jumlah pastinya," kata Ketua RW 07, M Endang Iskandar menambahkan.
Wilayah RT 05 ini, kata dia, masuk wilayang Kampung Panyarang Lebak, karena lokasinya paling bawah.
"Kalau di atas, RT 01-03 lebih banyak lagi jandanya. Karena semua warganya kerja di galian," kata dia.
Tak hanya laki-lakinya yang bekerja sebagai penggali pasir dan pemecah batu, para perempuannya juga bekerja sebagai penyaring pasir.
Hidup Serba Kekurangan
Iis (50), seorang janda beranak enam di Kampung Panyarang, atau akrab disapa Kampung Janda ini, hidup serba kekurangan.
Di sebuah rumah yang tak layak huni, ia tinggal bersama ketiga anaknya yang sudah besar.
Satu anak perempuannya yang paling besar sudah menikah, dan dibawa suaminya ke Jakarta.
Sedangkan dua anak laki-lakinya yang masih kecil-kecil, tinggal bersama neneknya di Cijeruk.
Suaminya meninggal, saat usia anak-anaknya masih kecil, sekitar delapan tahun yang lalu.
"Sejak suaminya meninggal karena penyakit, dia jadi stress dan mengalami gangguan jiwa. Sudah tidak bisa mengurus anak-anaknya lagi," kata Ketua RT setempat, Ade Suryadi kepada TribunnewsBogor.com, Kamis (31/3/2016).
Hingga saat ini, ketiga anak Iis yang tinggal serumah dengannya sudah terbiasa mengurus diri sendiri sejak kecil.
"Sebenarnya secara fisik Bu Iis sehat, cuma dia nggak mau berkomunikasi dan bersosialisasi dengan siapapun, termasuk anak-anaknya," jelas Ade.
Kedua anak laki-lakinya, kini bekerja sebagai penambang pasir dan pemecah batu di galian sekitar.
"Anak-anaknya yang besar sekolah cuma sampai SD, jadi kerja ke galian, kalau yang perempuan lagi sekolah kelas 3 SMP," katanya lagi.
Kondisi rumah Iis sangat memprihatinkan, bagian atapnya sudah rusak sehingga sering bocor ketika hujan.
Kaca depan rumahnya juga sudah rusak, dan kondisi dapurnya sangat kotor tidak terawat.
Hanya ada satu ranjang, serta kasur lantai untuk alas tidur.

Tribunnewsbogor.com/Vivi Febrianti
Karena gangguan jiwa yang dialaminya, Iis tak bisa merapihkan rumah ketika ketiga anaknya sedang bekerja dan sekolah.
Sehingga kondisi rumahnya sangat berantakan dan tampak kumuh.
Apalagi, di depan rumanya terdapat kandang kambing milik tetangga, yang berdampingan dengan MCK yang sudah tidak layak.
"Bu Iis mah nggak pernah keluar, paling ke warung sekali-kali, terus ke depan rumah sebentar ntar masuk lagi diem di kamar," ujar tetangga sebalahnya, Anih.
Jangankan mengurus rumah dan anakn-anaknya, mengurus dirinya sendiri saja, Iis sudah tidak bisa.
"Makan sama buang air kadang sudah di kamarnya saja, mau dibawa ke rumah sakit juga anak-anaknya uang dari mana," kata dia.