Kisah Mak Ci Tinggalkan Keluarga Saat Lebaran Demi Jaga Pintu Kereta, Semangat Meski Tak Dapat THR
Menurutnya, hal tersebut terpaksa harus dilakukan guna menambah pemasukannya untuk biaya kehidupannya sehari-hari.
Penulis: Mohamad Afkar Sarvika | Editor: Yudhi Maulana Aditama
Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Mohamad Afkar Sarvika
TRIBUNNEWSBOGOR.COM, BOJONGGEDE - Hari Raya Idul Fitri merupakan hari yang kebahagian umat muslim setelah melewati satu bulan lamanya melaksanakan ibadah puasa.
Biasanya umat muslim akan berkumpul dengan keluarga dan bersilaturahmi dengan teman, kerabat, atau pun saudara ketika merayakan momen bahagia itu.
Namun, ternyata tidak semua orang bisa berbagi kebahagian di momen Hari Raya Idul Fitri dengan keluarga atau saudara.
Misalnya saja seorang ibu berusia 41 tahun asal Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat satu ini.
Ibu itu bernama Ida Damayanti yang saat ini memiliki tiga orang anak.
Ida atau akrab disapa Mak Ci itu berprofesi sebagai penjaga palang pintu kereta api dekat Stasiun Bojonggede.
Di momen lebaran kali ini, dirinya harus berjaga di sebuah pos untuk menaikan dan menurunkan bambu yang dijadikan sebagai palang pintu kereta api.
"Ya paling pagi aja kumpul sama keluarga, habis itu saya harus jaga di palang pintu kereta, karena lalu lintas di jalur perlintasan menuju Perumahan Bojong Depok Baru (BDB) atau Gaperi ini terbilang cukup ramai," ungkapnya kepada TribunnewsBogor.com, Minggu (25/6/2017).
Menurutnya, hal tersebut terpaksa harus dilakukan guna menambah pemasukannya untuk biaya kehidupannya sehari-hari.
Bahkan, anak kedua Ida yang bernama Reka Ramanda (13) pun sampai turut membantu dirinya mengumpulkan pundi-pundi uang dengan ikut menjaga palang pintu kereta api.
"Petugas di sini ada empat orang, dua diantaranya saya dan anak kedua saya, kalau suami saya mah kerja sebagai satpam," katanya.
Ida bercerita bahwa di hari lebaran ini seharusnya Reka lah yang bertugas mejaga palang pintu kereta api.
Namun karena satu dan lain hal Reka untuk sementara tidak bisa bertugas hari ini.
"Anak saya bilang katanya hari ini mau beli pakaian, karena lemarin kan belum sempat, baru punya uangnya sekarang, jadi yaudah anak saya libur dan saya yang gantiin," jelasnya seraya menarik tali untuk menurunkan bambu saat kereta alan melintas.
Meski pendapatannya terbilang tidak besar, dirinya mengaku bangga dan senang bisa menjadi seorang penjaga palang pintu kereta api.
Sebab, kata dia, menjadi seorang petugas palang pintu kereta adalah pekerjaan yang tidak terlalu sulit namun dampaknya dirasakan oleh banyak pengendara.
"Gaji saya hanya Rp 500 ribu, kalau sama anak saya jadi Rp satu juta, tidak jauh dengan pendapatan suami saya, sebenarnya cape mata tidak boleh lengah karena kerja seperti ini mengandalkan penglihatan dan kecepatan tangan saat menarik tali," urainya.
Ida mengaku bahwa selama empat tahun bekerja sebagai petugas palang pintu kereta api, dirinya tak pernah mendapatkan konpensasi apa pun dari pihak stasiun kereta mau pun PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ).
"Gaji itu dikasihnya dari PT Sari Gaperi, kalau dari stasiun mah tidak dikasih, bahkan minta dana untuk perbaikan bambu yang rusak pun tidak dikasih apalagi THR," terangnya.
Dia pun menduga bahwa, tidak pernahnya pihak stasiun memberikan konpensasi dikarenakan palang pintu kereta tersebut dinilai tidak resmi alias ilegal.
"Iya soalnya palang pintu ini seharusnya tidak ada, jadi kalau mau dapat gaji dari pihak stasiun, PT Sari Gaperi harus menyatakan tidak sanggup menggaji kami, dan kemungkinan nantinya palang pintu ini akan ditiadakan," jelasnya.
Meski demikian dirinya tetap bersemangat dalam menjalankan kewajibannya sebagai penjaga palang pintu kereta api.
"Ya pengennya sih kalau lebaran gini kan kumpul sama keluarga, tapi mau gimana lagi harus ada yang jagain palang pintu kereta ini, untungnya saya hanya jaga dari siang sampai malam pukul 19.30 WIB, selebihnya hantian dengan yang lainnya," tandasnya.