Tak Jadi Bebas, Begini Perjalanan PK Ahok Hingga Ditolak Artidjo Alkostar
Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Ahok.
Penulis: Ardhi Sanjaya | Editor: Ardhi Sanjaya
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Usaha Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk bebas dari jeratan hukum kasus penistaan agama kembali pupus.
Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Ahok.
"PK Ahok tidak dikabulkan majelis hakim," ujar juru bicara MA Suhadi saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (26/3/2018) Suhadi mengatakan, majelis hakim tidak mengabulkan seluruh alasan yang diajukan Ahok dalam PK tersebut.
Terkait alasan lebih rinci, Suhadi masih enggan menjelaskan.
"Alasanya (mengajukan PK) tidak dikabulkan majelis hakim. Pertimbangan belum bisa saya beri tahu " ujar Suhadi.
Baca: Perpanjang Di Mobil Layanan Keliling, Masa Berlaku SIM Jokowi Baru Habis 3 Bulan Lagi
Baca: Perpanjang Lewat Mobil Layanan Keliling, Begini Gaya Jokowi Ketika Difoto untuk SIM Barunya
Melansir Warta Kota, PK yang diajukan Ahok telah diterima oleh Kepaniteraan Pidana MA pada 7 Maret 2018, dan teregistrasi dengan nomor 11 PK/Pid/2018.
Pihak kuasa hukum Ahok menilai, ada kekhilafan hakim saat memvonisnya dengan hukuman penjara dua tahun.
Pengacara Ahok juga menjadikan putusan kasus ujaran kebencian dengan terdakwa Buni Yani di Pengadilan Negeri Bandung, sebagai rujukan.
Perkara nomor 11 PK/PID/2018 masuk kualifikasi penodaan agama.

Perkara itu masuk ke MA pada 7 Maret 2018. Duduk sebagai ketua majelis Artidjo Alkostar dengan anggota hakim agung Salman Luthan dan hakim agung Margiatmo.
Baca: Sedang Bersama Wanita Saat Tabrak Sopir Ojek Hingga Tewas, Ini Sosok Anggota DPRD Maluku
Sebagaimana diketahui, Ahok divonis 2 tahun penjara oleh PN Jakut. Ia terbukti menista agama dalam sebuah pidato di Kepulauan Seribu.
Ia mengajukan PK ke PN Jakut, salah satu memori PK-nya adalah vonis yang diterima Buni Yani.
Artidjo Alkostar
Dibalik penolakan PK Ahok, ada seorang hakim agung yang begitu disegani.
Melansir Kompas.com, Juru bicara MA Suhadi mengatakan, penunjukan Artidjo merupakan keputusan pimpinan MA.
"Ya, memang dari pimpinan MA yang menunjuk. Tidak ada alasan khusus, itu kewenangan pimpinan," ujar Suhadi saat dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (15/3/2018).
Selain Artidjo, hakim lainnya yang akan menangani PK Ahok adalah Salman Luthan dan Sumardijatmo.
Artidjo merupakan hakim agung yang kerap menangani kasus-kasus berat, khususnya kasus korupsi.

Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo.
Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum.
Artidjo juga menangani kasus korupsi yang menjerat pengacara Otto Cornelis Kaligis di tingkat kasasi.
Oleh Artidjo, mereka dijatuhi hukuman penjara lebih lama ketimbang putusan di pengadilan tingkat pertama.
Bahkan, ada beberapa terdakwa yang mencabut permohonan kasasi ketika mengetahui Artidjo yang akan menangani perkara.
Harapan Pengacara Ahok
Menanggapi penunjukkan Artidjo, salah satu pengacara Ahok, yaitu Josefina Agatha Syukur, menyatakan, pihaknya yakin MA akan menangani dan memutus PK Ahok secara adil.
"Saya percaya hakim akan memutuskan dengan adil dan sesuai dengan hukum yang ada. Lebihnya berharap ke Tuhan saja," ujar Josefina saat dihubungi Kompas.com, Kamis (15/3/2018).

Josefina pun tak mau ambil pusing mengenai rekam jejak Artidjo yang kerap memberikan hukuman lebih berat.
Josefina yakin, Artidjo dan hakim lainnya dapat bijaksana dalam mengambil keputusan.
Tak Bisa Ajukan 2 kali
Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi memastikan upaya pengajuan PK ini akan jadi yang pertama dan terakhir bagi Ahok.
"Kalau melihat apa yang sudah digariskan Mahkamah Agung itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain," kata Suhadi dalam program AIMAN yang tayang di Kompas TV, Senin (5/3/2018).
Padahal, pada 2014, MA menerbitkan surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang pembatasan PK, yang pada intinya memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali.
Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin.
Mengapa Ahok tidak punya kesempatan yang sama?
"MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali. UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh di-PK," ujarnya.
Suhadi menjelaskan, PK lebih dari sekali ini diupayakan terpidana mati lantaran putusan hukuman mati tidak kunjung dieksekusi kejaksaan.
PK juga menjadi cara mengulur-ulur hukuman.
"Kematian tidak bisa ditukar dengan apa pun, jadi orang berusaha menghindari," katanya.
Keadaan yang bisa membuat perkara ditinjau kembali lebih dari sekali yakni jika ada putusan yang bertentangan satu dengan lain.
Misalnya, penggugat menang di pengadilan tata usaha negara (PTUN), tetapi kalah di ranah perdata sehingga tidak bisa dieksekusi.
"Kalau itu sudah masuk masalah substansi, kami tidak bisa berpendapat," katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Ahok mengajukan PK atas vonis perkaranya ke MA pada 2 Februari 2018.
PK tersebut terkait vonis 2 tahun penjara dalam kasus penondaan agama yang dijatuhkan majelis hakim pada Mei 2017.