Breaking News

Teror Virus Corona

Bandingkan Kasus Covid-19 di Negara Lain, Laode M Syarief: Apa yang Salah dengan Kita?

Laode M Syarief mempertanyakan apa yang salah dengan penanganan Covid-19 di Indonesia sehingga lebih banyak yang meninggal daripada sembuh.

Penulis: Vivi Febrianti | Editor: Damanhuri
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A via Kompas.com
Petugas medis menggunakan alat pelindung diri (APD) di dalam Gedung Pinere, RSUP Persahabatan, Jakarta, Rabu (4/3/2020). Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan telah menerima sepuluh pasien rujukan dalam pengawasan terkait virus corona yang dirawat di ruang isolasi di gedung Pinere. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/ama. 

Wijayanto merinci, dari 37 pernyataan blunder itu, 13 di antaranya terjadi pada masa pra-krisis Covid-19.

Kemudian, 4 pernyataan terjadi selama masa awal krisis, dan 20 pernyataan terjadi di masa krisis.

Pernyataan ini disampaikan oleh berbagai pejabat, dari yang tertinggi hingga tingkat eselon 1.

Banyak Dokter dan Perawat Meninggal saat Tangani Pasien Corona, Tim Medis di Italia Trauma

Satu Keluarga di Jakarta Pusat Positif Covid-19, Warga Tutup Akses Sebuah Gang

Pejabat itu dari Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kesehatan, Menko Maritim, Menko Polhukam, Menko Perekonomian, Menteri Perhubungan, Kepala BNPB, Menteri Pariwisata, Juru Bicara Presiden, Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, hingga Dirjen Perhubungan.

Pada fase pra krisis yang dimulai dari akhir Januari hingga awal Maret 2020, pemerintah dinilai tidak serius, menyepelekan, bahkan menolak kemungkinan adanya kasus virus corona di Indonesia.

Wijayanto mencontohkan, pada pertengahan Febuari misalnya, melalui akun Twitter-nya, Menko Polhukam Mahfud MD menyebutkan bahwa Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Covid-19 tak masuk ke Indonesia karena perizinannya susah.

Lalu, Wakil Preisden Ma'ruf Amin sempat menyebut bahwa virus corona menyingkir dari Indonesia karena doa qunut.

Saat itu belum ditemukan pasien Covid-19 di Tanah Air Tidak hanya itu, ketika negara lain mulai memberlakukan lockdown untuk mencegah penyebaran virus corona, presiden hingga sejumlah menteri justru menyebut bakal menggalakkan sektor pariwisata.

Menurut Wijayanto, sikap denial atau penolakan pemerintah ini menyebabkan publik gagal menyiapkan diri menghadapi pandemi.

"Sehingga yang muncul adalah kepanikan dalam berbagai bentuk mulai dari panic buying, stigma pada pengidap corona yang melahirkan bullying pada pasien corona, juga termanifesti dengan penolakan untuk isolasi bagi mereka yang ODP (orang dalam pemantauan)," ujar dia.

Pada fase awal krisis yaitu 2 hingga 14 Maret 2020, pemerintah juga melakukan blunder komunikasi politik.

Wijayanto mencontohkan, blunder pada fase ini misalnya ketika pemerintah inkonsisten menyatakan kasus seorang pasien di Cianjur meninggal dunia bukan karena Covid-19, tapi kemudian diralat sebagai pasien positif terinfeksi corona.

Pada masa itu, Ma'ruf Amin masih sempat melontarkan candaan yang menyebut bahwa susu kuda liar bisa menangkal Covid-19.

Blunder terbanyak terjadi di fase krisis.

Mulai dari pernyataan Jokowi mengenai status darurat sipil yang diralat menjadi darurat kesehatan, soal kelonggaran kredit kendaraan yang ternyata diperuntukkan bagi pasien positif corona, hingga polemik mudik.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved