Teror Virus Corona

Sebut Herd Immunity Berpotensi Timbulkan Banyak Korban Jiwa, JK: Siapa yang Mau Tanggung Jawab?

Menurut JK, herd Immunity sangat beresiko besar terhadap jiwa manusia, dan siapa yang akan bertanggung jawab soal itu.

Penulis: Vivi Febrianti | Editor: Damanhuri
Youtube/CNN Indonesia
Jusuf Kalla bicara strategi pandemi Covid-19. 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Ketua Umum PMI Jusuf Kalla menegaskan kalau wacana penerapan Herd Immunity sebagai upaya melawan Covid-19 di Indonesia tidaklah tepat.

Jusuf Kalla mempertanyakan, siapa yang akan bertanggung jawab jika Herd Immunity ini dijalankan, dan banyak memakan korban jiwa.

"Ya Herd Immunity itu kan namanya pembiaran masyarakat apa adanya, ya mati mati lah, kemudian terjadilah imunitas komunitas terbatas. Nah apa kita mau membiarkan masyarakat seperti itu? Ini taruhannya jiwa banyak , jadi siapa yang mau tanggung jawab dunia akhirat?," kata Jusuf Kalla dilansir dari Youtube CNN Indonesia, Kamis (21/5/2020).

Ia juga menegaskan kalau cara itu terbukti tidak berhasil.

"Ya (kurang tepat), tidak ada negara yang berhasil dengan cara itu, karena itu korbannya banyak," tutur JK.

Sebagai solusinya, JK menjelaskan mengenai opsi segitiga virus corona yang ia gaungkan.

Ia menganalogikan, dalam melawan virus corona ini sama seperti kita sedang berperang.

"Kita ini kan selalu menyatakan perang besar, kalau perang itu kan harus ada orang bertahan, menghindari corona itu, itulah yang kita lakukan dengan diam di rumah, jaga jarak, itu kan menghindari supaya jangan terkena virus," jelas JK.

Selain strategi bertahan, JK juga menyebut bahwa yang bisa kita lakukan untuk memenangkan perang yakni melakukan serangan balik.

"Yang kedua, kita juga harus intervensi untuk mematikan virus ini, menyerang balik, yaitu dengan cara disinfektan. Itu dijalankan oleh PMI dan organisasi lainnya, itu dilakukan supaya jangan hanya kita menerima nasib, tapi kita juga harus mematikan virus itu dengan cara disinfektan," terangnya.

Wagub DKI Sebut Aturan PSBB Tak Pandang Bulu: Gubernur Sampai Raja Kalau Melanggar Kena Sanksi

Kepala Bapennas Tegaskan PSBB di 124 Kabupaten/Kota Siap Dibuka

Bahkan cara itu juga dilakukan oleh negara lain dan terbukti berhasil.

"Dan itu dilakukan di negara-negara yang berhasil turun, seperti China, Thailand, Vietnam, New Zaeland, semua dilakukan seperti itu. Sehingga terjadi kombinasi antara pertahanan dan penyerangan balik," jelasnya lagi.

Kemudian strategi yang ketiga yakni penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan para tenaga medis.

Sehingga, strategi penyembuhan ini merupakan strategi terakhir yang kita lakukan, bukan di awal.

"Inilah perang yang luar biasa, itu kalau terjadi korban, baru tugas mereka. Jadi di depannya itu pencegahan, teori kesehatan yang umum kan pencegahan lebih dulu daripada penyembuhannya. Jadi penyembuhan itu di belakang, kalau ada yang kena," ujarnya.

Ia pun menegaskan, peran PMI di masa pandemi ini yakni ada dalam strategi menyerang.

Namun, ia tak setuju dengan wacana Presiden AS Donald Trump untuk menyuntikkan disinfektas ke pasien positif virus corona.

"Kita tahu kalau virus itu bisa dimatikan dengan disinfektan, selama ini dijalankan itu. Malah kalau Trump lebih ektrem lagi, orang sakit bisa diobati dengan disinfektan, walaupun ini berbahaya, disuntikkan, tentu tidak," ucapnya.

Namun, ia lebih memilih melakukan penyemprotan sebanyak-banyaknya di berbagai tempat.

"Kalau kita tidak katakanlah tahu virus itu ada di mana, maka harus dilakukan transaksi kota atau lingkungan, supaya virus itu tidak melekat. Rumah-rumah orang kita bersihkan, itu dilakukan oleh ribuan relawan PMI di seluruh Indonesia, terus dilakukan sepanjang hari pagi sampai malam," ujarnya.

Anies Keluarkan Aturan Baru, Warga yang Tidak Punya Surat Izin Dilarang Masuk atau Keluar Jakarta

WHO Kecam Negara yang Terapkan Herd Immunity untuk Tangani Covid-19: Ini Manusia Bukan Binatang

Selain dengan penyemprotan cairan disinfektan, JK juga mengimbau masyarakat untuk selalu mencuci tangan.

"arus higienis, kita Jangan menyerah kepada nasib," kata JK.

Apa itu Herd Immunity?

Baru-baru ini istilah Herd Immunity dan New Normal ramai diperbincangkan banyak orang.

Dua istilah itu ada kaitannya dengan pandemi virus corona atau Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di Dunia.

Namun tidak semuanya memahami kedua istilah tersebut.

Psikolog Yuli Budirahayu kepada Tribunnews.com, Rabu (20/5/2020) menjelaskan bahwa Herd Immunity adalah suatu situasi atau keadaan di mana semakin banyak masyarakat dalam suatu lingkungan sosial yang memiliki tingkat kekebalan tinggi terhadap penyakit menular.

"Hal tersebut dikarenakan mereka sudah pernah terpapar dan dinyatakan sembuh dari penyakit, yang diharapkan dapat menghambat hingga memutus proses penyebaran virus dari seseorang," ujarnya.

Sementara itu, New Normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19.

Herd Immunity Bisa Membuat Jutaan Orang Meninggal Jika Tanpa Vaksin

Kepala Bappenas Sebut PSBB di 124 Kota/Kabupaten Bakal Dilonggarkan, Doni Monardo Ungkap Alasannya

Lalu apa perbedaan dari keduanya?

Pada Herd Immunity, kekebalan akan terbentuk setelah seseorang terinfeksi dan sembuh atau melalui vaksinasi untuk mencegah penularan.

Kemudian pada New Normal, akan lebih kepada seseorang yang mengadopsi perilaku hidup berbeda agar menekan risiko penularan virus.

"Ya melakukan perilaku hidup berbeda dari biasanya, seperti bekerja tetapi dari rumah (work from home), saat keluar rumah menggunakan masker, selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan lain sebagainya," kata Yuli.

Jika suatu negara menerapkan keduanya, yakni Herd Immunity dan New Normal maka akan menimbulkan beberapa dampak bagi masyarakat.

"Kehidupan masyarakat pasti akan berubah, entah itu dari berbagai aspek baik ekonomi, sosial, spiritual, kesehatan, psikologis, dll,"

"Sebelumnya, masyarakat perlu diberikan psikoedukasi atau pemahaman mengenai pengertian kedua hal tersebut agar bisa menambah wawasan mereka," ungkap Yuli.

Hal tersebut bertujuan apabila diterapkan di masyarakat, mereka lebih bisa menerima dan menjalani aktivitas seperti biasa.

"Masyarakat jadi tidak mudah panik dan stress karena harus melakukan aktivitas seperti biasa (normal) meski dengan menggunakan tatanan atau aturan yang baru jika pada akhirnya kedua hal tersebut diterapkan," lanjutnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved