Hukum Perayaan Rebo Wekasan di Rabu Terakhir Bulan Safar Menurut UAS & Buya Yahya, Ini Penjelasannya
Selain kerap dianggap sebagai bulan sial, bulan Safar juga kental dengan tradisi rabu wekasan atau rebo wekasan.
Penulis: Vivi Febrianti | Editor: Vivi Febrianti
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Selain kerap dianggap sebagai bulan sial, bulan Safar juga kental dengan tradisi rabu wekasan atau rebo wekasan.
Rebo wekasan ini kerap dirayakan oleh beberapa orang, lantas bagaimana hukumnya menurut Islam?
Dikutip dari Wikipedia.org, rebo wekasan, rabu wekasan, atau rebo pungkasan adalah nama hari rabu terakhir di bulan Safar pada Kalender lunar versi Jawa.
Pada hari ini biasanya dimulainya rangkaian Upacara Adat Safaran yang nanti akan berakhir di Jumat Kliwon bulan Maulid (Mulud).
Seperti upacara Sedekah Ketupat dan Babarit di daerah Sunda kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Keistimewaan rebo wekasan ini adalah karena merupakan satu satunya hari yang tidak tergantung pada hari pasaran dan neptu untuk melakukan suatu upacara adat.
Catatan dalam adat Kejawen, hari pasaran dan neptu adalah sangat penting demi keselamatan dan berkah dari acara, kecuali pada hari ini.
Konon ini adalah hari datangnya 320.000 sumber penyakit dan marabahaya 20.000 bencana.
Hukum Rebo Wekasan
Dikutip dari SyariahIslam.com, Rebo Wekasan bersumber dari pernyataan dari orang-orang shaleh (Waliyullah).
Penulis kitab sama sekali tidak menyebutkan adanya keterangan dari sahabat maupun ulama masa silam yang menyebutkan hal ini.
Baca juga: Mitos Bulan Safar, Benarkah Bulan Sial? Ini Jawaban yang Benar
Baca juga: Sering Disebut Bulan Sial, Ini Keutamaan Bulan Safar dan Amalan yang Bisa Dilakukan Mulai Hari Ini
Sedangkan sumber syariat Islam adalah Alquran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentunya berita semacam ini tidak lantas kita percaya.
Karena kedatangan bencana di muka bumi ini, merupakan sesuatu yang ghaib dan tidak ada yang tahu kecuali Allah.
Dan hal-hal yang ghaib dapat diketahui dengan petunjuk Alquran dan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Meyakini datangnya malapetaka atau hari sial di hari Rabu terakhir bulan Shafar (Rebo Wekasan) termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang.