Keluarga Santriwati Menangis Herry Wirawan Tak Jadi Dihukum Mati, Majelis Hakim: Dia Sudah Menyesal
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup kepada terdakwa Herry Wirawan.
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Keluarga santriwati korban rudapaksa Herry Wirawan kecewa mendengar kabar vonis yang diterima sang guru ngaji cabul tersebut.
Keluarga para santriwati korban rudapaksa Herry Wirawan hanya bisa menangis mendengar putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung menjatuhkan vonis hukuman penjara seumur hidup kepada terdakwa Herry Wirawan.
Putusan tersebut dianggap pihak keluarga korban tak sesuai dengan harapan, sebab keluarga para korban menginginkan pelaku rudapaksa itu dihukum mati.
Seperti diketahui, Herry Wirawan yang merupakan pengasuh Pondok Pesantren di wilayah Bandung ini telah merudapaksa 13 orang santriwatinya.

Bahkan, sembilan orang bayi terlahir dari rahim santriwatinya akibat kebejatan Herry Wirawan.
Hingga saat ini, santriwati korban rudapaksa Herry Wirawan masih mengalami trauma.
Vonis hukuman penjara seumur hidup ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum yang menuntut Herry Wirawan agar diberikan hukuman mati.
Hukuman tambahan berupa kebiri kimia dan denda Rp 500 juta pun turut ditolak hakim dalam persidangan.
Majelis hakim menilai hukuman mati ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Selain itu Herry sebagai terdakwa juga telah menyesal dan mengakui kesalahannya.
“Berdasarkan pembelaan terdakwa, hukuman mati bertentangan dengan HAM. Dan pada pokoknya, terdakwa menyesal atas kesalahan,” ujar majelis hakim.
Terkait hukuman kebiri kimia, hakim mempertimbangkan, kebiri kimia dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
Selanjutnya kebiri kimia ini bisa ditetapkan jika pidana penjara yang diberikan yakni ancaman penjara maksimal hingga 20 tahun.
Majelis hakim juga berpendapat jika terdakwa sudah diberi pidana hukuman mati atau seumur hidup yang tidak memungkinkan terpidana selesai menjalani pidana pokok, maka kebiri kimia tidak bisa dilakukan.
"Tidak mungkin jika setelah terpidana mati, setelah jalani eksekusi mati, atau mati karena jalani pidana penjara, dan kemudian terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia," imbuhnya.
Keluarga Korban Menangis Kecewa
Vonis hukuman seumur hidup oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (15/2/2022) kepada Herry Wirawan membuat keluarga korban menagis kecewa.
"Saya komunikasi dengan keluarga korban, mereka pada menangis kecewa berat dengan putusan ini," ujar Yudi Kurnia, kuasa hukum korban rudapaksa dilansir dari Tribunjabar, Selasa (15/2/2022).
Menurut dia, seharusnya majelis hakim mengabulkan tuntutan hukuman mati pada Herry Wirawan sesuai dengan tuntutan jaksa Kejati Jabar.
Adapun unsur atau syarat hukuman mati bagi pelaku tindak pidana anak diatur di pasal 81 ayat 5 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D, menimbulkan:
1. Korban lebih dari 1 (satu) orang,
2. Mengakibatkan luka berat,
3. Gangguan jiwa,
4. Penyakit menular,
5. Terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
6. Dan/atau korban meninggal dunia,
Pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun.
Dilansir TribunnewsBogor.com dari Tribunnews.com, Yudi Kurnia, kuasa hukum korban rudapaksa mengatakan, keluarga korban saat ini tengah tersesak karena hukuman terhadap pelaku tidak sebanding dengan penderitaan yang akan dialami korban seumur hidupnya.
Putusan hukuman penjara seumur hidup menurutnya menyakiti perasaan keluarga korban yang sedari awal sudah mengharapkan hukuman mati bagi terdakwa.
"Si pelaku masih bisa bernapas walau pun di dalam penjara, sementara keluarga korban sesak menghadapi masa depan anak-anak, harapan anak sudah dibunuh.
Sementara si heri masih bisa bernapas," kata dia.
Padahal, lanjut Yudi, Herry Wirawan selama persidangan tidak membantah sedikit pun atas kesaksian para korban.
Menurutnya kejadian tersebut merupakan kejadian yang luar biasa, diperparah dengan terdakwa yang seorang guru pengajar sekaligus guru pengasuh yang seharusnya melindungi muridnya.
"Apakah ini bukan suatu kejadian luar biasa, kami mohon kepada jaksa penuntut umum untuk berani banding.
Upaya banding adalah upaya hukum, mungkin ke depannya hasilnya seperti apa, yang jelas jaksa penuntut umum ada upaya dan komitmen," ujarnya.

Sikap JPU
Ketua tim JPU sekaligus Kepala Kejati Jabar, Asep N Mulyana mengatakan pihaknya menghormati putusan hakim tersebut dengan segala pertimbangan di baliknya.
Pihaknya juga mengapresiasi hakim yang menyatakan Herry Wirawan terbukti bersalah secara sah.
"Kami juga mengapreasiasi dan menghormati hakim untuk menerapkan atau pun sependapat bahwa perbuatan terdakwa sesuai dengan dakwaan primer kami," kata Asep, dikutip dari tayangan langsung Kompas TV, Selasa (15/12/2022).
Asep mengaku memang ada beberapa tuntutan pihaknya yang tak dikabulkan hakim.
Oleh karena itu, kata Asep, pihaknya akan mempelajari putusan vonis dan pertimbangan hakim.
Ia juga menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum banding atau tidak terhadap kasus Herry Wirawan ini dalam kurun waktu 7 hari ke depan.
"Kami melihat ada beberapa tuntutan kami yang belum dikabulkan, kami akan pelajari secara menyeluruh pertimbangan-pertimbangan dan putusan hakim dari salinan lengkap."
"Maka pada kesempatan ini kami menyatakan pikir-pikir dalam jangka waktui 7 hari untuk menyatakan sikap apakah kami menerima putusan majelis atau mengajukan upaya hukum berupa banding," jelas dia.