Kota Bogor Tertular Fenomena Citayam Fashion Week, DP3A Sebut Lokasinya di SSA
Sekretaris DP3A Kota Bogor Ana Ismawati menjelaskan, pihaknya mulai fokus untuk melakukan upaya perlindungan anak terkait fenomena fashion SCBD.
Penulis: Rahmat Hidayat | Editor: Yudistira Wanne
Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Rahmat Hidayat
TRIBUNNEWSBOGOR.COM, TANAH SAREAL - Fenomena fashion week Sudirman, Citayam, Bojonggede, dan Depok (SCBD) di Kota Jakarta diyakini bakal diikuti kota lainnya.
Fenomena ini terus menjadi sorotan akhir-akhir ini lantaran kreatifitas sekelompok remaja untuk memamerkan fashionnya.
Bahkan, teranyar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hingga artis kenamaan menjajal dan turun langsung merasakan fenomena ini.
Namun, kreatifitas itu harus terus diperhatikan dari berbagai aspek terutama penjaminan yang mencakup sosial dengan penguatan di bidang edukasi serta pemahaman.
Di Kota Bogor, hal itu mulai diantisipasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bogor.
DP3A Kota Bogor sudah turun ke lapangan terutama seputaran pedestrian SSA Kota Bogor yang akhir-akhir ini turut diramaikan oleh sekolompok remaja yang hampir mirip dengan fenomena SCBD ini.
Sekretaris DP3A Kota Bogor Ana Ismawati menjelaskan, pihaknya mulai fokus untuk melakukan upaya perlindungan anak terkait mulai menjamurnya fenomena ini di Kota Bogor.
"Kita sudah antisipatif melihat berita seperti itu. Kurang lebih tiga minggu lalu sudah turun ke lapangan.Sebetulnya kita tidak fokus tentang fashionnya. Tetapi, kita turun ke lapangan dalam rangka perlindungan anaknya. Kalau yang ditemukan di Kota Bogor kan di SSA," kata Ana saat dijumpai TribunnewsBogor.com di Puskesmas Tanah Sareal, Kota Bogor, Jumat (22/7/2022)
Menurut Ana, upaya perlindungan anak itu dilakukan dalam rangka bagian kecil soal perlindungan anak.
Upaya itu dilakukan, sambung Ana, akan dilakukan dengan sosialiasi, dan berdialog terbuka dengan para remaja yang turut memeriahkan fenomena ini di Kota Bogor.
"Nah, kita lebih membuka ke anak anak SSA berdiskusi, berdialog, dan kita rangkul dan berikan edukasi bahwa mereka di usia anak mempunyai hak. Tetapi, disamping memiliki hak dia juga terikat oleh suatu kewajiban yang semuanya diatur UU Perlindungan anak dan Perda Kota Bogor," jelasnya.
Ana pun membeberkan, edukasi-edukasi itu tentunya tidak akan menghalangi kreatifitas anak itu sendiri.
Namun, DP3A mengingatkan untuk para remaja tetap pada konteks hak dan kewajibannya sebagai anak.
"Supaya apa? Supaya edukasinya berimbang. Ketika dia punya kreatifitas seperti apapun dan konteksnya itu hak dia tetap bertanggung jawab dan memiliki kesadaran mengemban kewajiban," jelasnya.
Ana pun menggambarkan resiko jika tidak diberikan sosialisasi, edukasi, dan pengawasan perlindungan itu sendiri.
Sebab, dari hasil temuannya dilapangan, para anak-anak yang memeriahkan fenomena ini tidak selalu memikirkan kewajibannya yang harus diemban.
"Contoh edukasi kita saat dilapangan hampir seluruh anak ketika edukasi dan diajak ngobrol, diskusi, mereka tidak mempunyai dan membawa identitas. Saya bilang punya ga sih identitas? Mereka jawab punya bunda. Misalnya dia dirumahnya punya kartu pelajar atau punya kartu identitas penduduk. Tetapi, itu tidak mereka bawa.
"Itu kan harus kita sadarkan kepada mereka bahwa membawa identitas itu penting. Itu yang kita sadarkan dan ruang edukasi bahwa mereka dengan kepolosannya harus sadar juga dan kita ingatkan," ungkap Ana.
Edukasi dan sosialisasi itu, diakui Ana, akan terus dilakukan dengan melibatkan pihak lainnya di Kota Bogor.
Bahkan, saat ini, DP3A fokus untuk menggali faktor-faktor yang menyebabkan para anak-anak itu menghabiskan waktunya di jalan.
"Itu diskusi kita bangun bahkan kita sampai lebih menggali sesungguhnya apa sih yang mereka rasakan. Rata rata yang mereka rasakan adalah kebosenannya dirumah sehingga jalan dan mengekspresikan diri," tambahnya.
Ana pun optimis bisa menekan angka kekerasan pada anak dan perempuan dengan edukasi yang digencarkan saat ini.
Walaupun diakui Ana, kreatifitas merupakan hak dari anak untuk bisa mengekspresikan dirinya masing-masing.
"Kekerasan terjadi karena efek kurang kontrol dan kendali. Ketika mereka berkomunitas tetapi tidak diingatkan tentang hak dan kewajibannya melekat akhirnya seperti itu. Ini yang terus kita bangun prinsipnya," tandasnya.
