Mengenal Kampung Cengal di Bogor, Ternyata Dipilih dari Nama Pohon, Kini Buah Duriannya Tersohor

Dikelilingi pohon-pohon tinggi besar serta letaknya geogfrasinya berada di atas, menjadikan Kampung Cengal Bogor berbeda dengan kampung di sekitarnya.

Penulis: Rahmat Hidayat | Editor: Vivi Febrianti
TribunnewsBogor.com/Rahmat Hidayat
Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, jika dilihat dari jauh menyerupai pegunungan. 

Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Rahmat Hidayat

TRIBUNNEWSBOGOR.COM, LEUWILIANG - Dikelilingi pohon-pohon tinggi besar serta letaknya geogfrasinya berada di atas, menjadikan Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, berbeda dengan kampung di sekitarnya.

Kalau dari kejauhan, tak aneh jika melihat Kampung Cengal bak pegunungan yang hutannya lebat.

Jika lebih masuk ke areal dalam, banyak peradaban yang saat ini menghuni Kampung Cengal yang lokasinya memang berjarak sekitar 17-20 menit dari Kantor Kecamatan Leuwiliang.

Jalannya yang cukup menanjak membuat Kampung Cengal terlihat eksotis.

Sepanjang jalan di kampung ini, kiri kanannya terdapat pohon durian yang menjulang tinggi.

Namun, siapa sangka kampung yang kini banyak dikunjungi oleh masyarakat luar karena buah duriannya ternyata menyimpan sejarah yang panjang.

Misad Bakri (78) warga Kampung Cengal, nampaknya masih mengingat betul cerita demi cerita terkait kampung yang dihuninya ini.

Dia menceritakan, bahwa nama Kampung Cengal berasal dari nama pohon 'Cengal'.

"Kalau nama Kampung Cengal ini berasalnya dari nama pohon. Mankanya disebut Cengal," kata Misad saat dijumpai di kediamannya.

Nama pohon Cengal itulah, yang membuat orang tua atau leluhur Kampung Cengal menyebut kampungnya dengan nama itu.

"Sebab tidak dilestarikan nah, dari situ dibuat oleh leluhur disini Mbah Haji Kosim. Dari dahulu juga namanya Cengal. Jadi, terkenal nama Cengal. Padahal itu nama pohon," ungkapnya.

Penamaan kampung yang diambil dari kata pohon saat itu mengingat bahwa banyak sekali bukit-bukit dan rimba belantara di sini.

Sebabnya, diingat oleh Misad, lantaran pada kurun waktu sekitar 1940 an, hanya leluhur yang disebut Mbah Kosim itu yang ada disini.

"Mbah Kosim aja 50 haktare lebih tanahnya waktu itu. Baru ada Mbah Kosim sama cucu-cucunya. Tapi, sekitar 1940 an itu masih sepi. Masih padet dengan pohon," ungkapnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved