TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Sebuah kota yang memiliki penduduk lebih dari 1 juta jiwa bisa mengelola sendiri sampah domestiknya.
Dengan mengolah sendiri sampah domestik, bisa menurunkan biaya angku sampah hingga Rp 31 miliar per tahun.
Hal ini diungkapnya Guru Besar tetap Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc.
Menurut Arief Sabdo Yuwono, hemat biaya itu dengan asumsi biaya angkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebesar Rp 500 ribu rupiah per trip.
Baca: Nikita Mirzani Diduga Hamil Anak Dipo Latief, Pengusaha Yang Tajir Melintir, Punya Pabrik Uang
Tiap rumah tangga juga bisa mendapatkan manfat berupa uang dari kompos yang dihasilkan sebesar Rp 20 ribu rupiah per bulan.
"Sebenarnya 75 persen sampah bisa dikurangi dengan dikelola di tempat asal atau setiap rumah. Sampah yang perlu diangkut ke TPA itu hanya 25 persen saja," ujarnya dalam pemaparan materi orasinya di Kampus IPB Baranangsiang belum lama ini.
Sebagai pakar teknik lingkungan, Prof Arief menjelaskan beberapa implementasi teknik lingkungan di Indonesia.
Baca: Pastikan Prabowo Tetap Maju di Pilpres, Rachmawati Soekarnoputri: Tunggu Tanggal Mainnya
Selain pengelolaan sampah dia juga menjelaskan arti lingkungan yang sehat dan nyaman.
Kesehatan lingkungan dinyatakan dalam Indeks Kesehatan Lingkungan (IKL).
Ada tiga parameter untuk pengukuran IKL yakni kualitas udara, kualitas air dan tutupan lahan.
"Dari laporan Ditjen Pengendalian, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK tahun 2015, 68 persen mutu air sungai di 33 provinsi di Indonesia dalam status tercemar berat. Sumber pencemar adalah tinja, air limbah domestik dan sampah rumah tangga," ujarnya.
Baca: Dikabarkan Kritis, Limbad Ketahuan Ada di Bandara, Acara Itu Gimik? Netizen Ungkap Kejanggalan !
Sementara itu salah satu cara untuk menyajikan kondisi kualitas udara adalah dengan menampilkannya pada papan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang biasa terpasang di posisi strategis di perkotaan.
Namun ISPU yang ada saat ini memiliki jeda waktu 24 jam antara waktu pengambilan sampel dan saat penyajian.
Korban terpapar udara berbahaya terlebih dahulu, karena hasil analisis kualitas udaranya baru ditampilkan keesokan harinya.
"Kami di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB sudah berhasil mempercepat waktu analisis sampel menjadi dalam waktu hanya satu menit saja," ujarnya.
Baca: Pengakuan Germo di Aceh Soal Pejabat yang Jadi Pelanggannya, Sekali Show Rp 2 Juta, Ini Faktanya
Berdasarkan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan kerusakan lingkungan yang pernah Ia lakukan, Prof Arief menyimpulkan bahwa sebagian masyarakat memandang proses penyusunan dokumen dan pelaksanaan studi AMDAL ini hanya sebuah tahap "formalitas" dari proses perolehan izin usaha.
Sebagian yang lain memandang AMDAL sangat penting sebagai upaya manusia mempertahankan kualitas lingkungan.
"Saat ini studi AMDAL dilakukan oleh orang yang tidak cukup kompeten. Jika terus berlanjut maka kerusakan lingkungan akan semakin parah," katanya.
Baca: Basist Navicula Meninggal Dunia, Artis Indonesia Beramai-Ramai Ucapkan Bela Sungkawa
Dalam kesempatan ini, Arief memperkenalkan inovasinya berupa alat pengukur kepekatan asap industri bernama Opacity Meter dan Dustfall Canister atau alat ukur debu jatuh.
Harganya jauh lebih murah dari alat serupa yakni Rp 5,9 juta rupiah atau sepertiga dari harga alat impor.
"Kedua alat ini sudah kami daftarkan untuk mendapatkan hak patennya," katanya.(*)