TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Sejak pertama kali dilaksanakan pada 2013, pelepasan lampion menjadi salah satu highlight wisatawan yang menyambangi Dieng Culture Festival.
Festival budaya yang digelar di Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah ini dari tahun ke tahun selalu dibanjiri pengunjung.
Selain karena upacara sakral pemotongan rambut gimbal anak-anak Dieng, pengunjung juga ingin merasakan syahdunya momen pelepasan lampion.
Hal itu saya rasakan pada malam puncak Dieng Culture Festival, Sabtu (3/8/2019) malam.
Ribuan lampion diterbangkan ke angkasa, berlatarkan lagu Tanah Airku.
Ribuan wisatawan ikut bersenandung. Suasana menjadi sangat syahdu, menghadirkan kehangatan di tengah dinginnya suhu Dieng yang menusuk tulang.
Namun keesokan harinya, Dieng Culture Festival lewat akun Instagram resmi @festivaldieng membuat story berisikan informasi baru.
“Terimakasih Indonesia, ini adalah tahun terakhir dieng culture festival dengan lampion. Tahun depan kita tidak akan menggunakan lampion lagi. Terimakasih yang telah mendukung kami, kalian yang terbaik, sampai jumpa di jazzatasawan 2020,” begitu keterangannya.
Pro dan Kontra
Sejak pertama kali digelar pada 2013, agenda pelepasan lampion tak lepas dari pro dan kontra.
Alif Fauzi selaku Ketua Panitia DCF mengatakan, secara pariwisata, agenda pelepasan lampion memenuhi konsep something to see, something to do, dan something to buy.
“Wisatawan tidak hanya melihat, tapi juga melakukan dan melakukan pembelian. Dari segi ekonomi pariwisata semua unsur itu terpenuhi,” tutur Alif kepada KompasTravel, Senin (5/8/2019).
Meski begitu, sisi kontra datang dari banyak pihak. Selain dari warganet, keluhan juga muncul secara resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dalam surat yang dikeluarkan KLHK bernomor 5.355/P3E.JW/TU/SET.1/7/2019, terdapat dua poin potensi risiko lingkungan yang terjadi terkait pelepasan lampion:
1. Risiko kebakaran yang akan mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hutan/lahan/pemukiman.