Sebut Jokowi Bisa Tolak Revisi UU KPK, Mahfud MD: Kenapa Tak Tunggu DPR Baru yang Akan Dilantik?
TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengomentari soal polemik revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini tengah ramai diperbincangkan.
Menurut Mahfud MD, secara hukum revisi UU KPK yang diajukan oleh anggota DPR RI sah saja.
Namun, Mahfud MD juga menegaskan kalau Presiden bisa menolah substansi atau schedul-nya.
Ia pun menyarankan agar Presiden Jokowi untuk membentuk tim kajian.
Hal itu disampaikan oleh Mahfud MD di Twitter miliknya, @mohmahfudmd Jumat (6/9/2019).
Sebelumnya, seluruh fraksi di DPR setuju revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR.
Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna DPR yang digelar pada Kamis (5/9/2019) siang.
Jika proses berlangsung lancar dan cepat, RUU KPK bisa selesai pada September ini dan masuk dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019.
Mahfud MD pun menyarankan kepada Jokowi untuk membuat tim dan mengikuti sesuai prosedur normal.
"Scr hukum DPR putuskan utk merevisi UU KPK sah sj. Tp sesuai Psl 20 UUD 1945 Presiden bs menolak substansi maupun schedulenya.
Baiknya Presiden membentuk Tim Kajian dan DIM Pendahuluan sblm membuat supres pembahasan ke DPR.
Ikuti sesuai prosedur normal sj, tak ada hal luar biasa," tulisnya.
• Sudah Ketuk Palu, Seluruh Fraksi di DPR Setuju Revisi UU KPK
• Dilaporkan ke Polisi, Jubir KPK Duga karena Kawal Seleksi Capim KPK
Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan prosedur normal yang terdapat dalam undang-undang.
Yakni RUU akan dibahas dan dimasukkan dalam Prolegnas.
Tak hanya itu, ia juga mempertanyakan sikap DPR yang seolah terburu-buru ingin melakukan revisi UU KPK.
"Dlm prosedur normal mnrt UU No.12 Tahun 2011 setiap RUU yg akan dibahas dimasukkan dulu dlm Prolegnas.
Akhir Oktober/Awal November ini Pemerintah dan DPR yg baru akan menetapkan Prolegnas.
Mengapa pembahasan Revisi UU KPK tak menunggu DPR baru yg hny 3 minggu lagi akan dilantik?," tulisnya lagi.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim meminta masyarakat tidak perlu khawatir dengan rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang diusulkan DPR.
Ia menilai rencana revisi UU KPK itu masih jauh dari rampung karena membutuhkan persetujuan pemerintah di dalamnya.
"Menurut saya ini, kan kalau kita ngerti tata cara proses pembahasan undang-undang di DPR, harusnya kekhawatiran itu tidak diperlukan," kata Ifdhal Kasim di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (6/9/2019).
Mantan Ketua Komnas HAM ini menjelaskan, Presiden Jokowi belum menerima dan membaca draf perubahan UU KPK yang sudah disepakati dalam rapat paripurna DPR.
• Mahfud MD : Papua dapat Anggaran Rp 17,5 Juta Per Kepala, Tapi Tak Pernah Sampai ke Rakyatnya
• Ungkap Sumber Uangnya, Mahfud MD Bantah Digaji Ratusan Juta oleh BPIP: Seolah Saya Makan Uang Negara
Oleh karena itu, pemerintah belum bisa merespons rencana revisi aturan tersebut.
"Karena presiden belum menerima naskahnya, gimana? Itu belum bisa direspons karena pemerintah belum mendapat bahannya," ujarnya.
Ifdhal Kasim mengatakan, pemerintah akan lebih dulu mempelajari RUU KPK yang diusulkan DPR.
Ifdhal Kasim sendiri tak yakin revisi UU KPK ini akan bisa selesai sebelum anggota DPR periode 2019-2024 dilantik.
Apalagi, Daftar Inventaris Masalah atas revisi ini juga belum dibahas.
"Jadi itu masih jauh," ujarnya.
Revisi UU KPK yang diajukan Badan Legislasi DPR sudah disetujui menjadi RUU inisiatif DPR dalam sidang paripurna Kamis (5/9/2019) siang ini.
Setelah itu, RUU ini akan dibahas bersama pemerintah.
Anggota Baleg Hendrawan Supratikno mengatakan, Baleg akan mengebut pembahasan revisi itu sehingga bisa selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 habis pada 30 September mendatang.
Ada sejumlah poin perubahan dalam revisi UU KPK.
• Seleksi Calon Pimpinan KPK, Ada yang Berdebat dengan Panitia Seleksi hingga Ditolak 500 Pegawai
• Roby Arya Akan Buat KPK Tak Bisa Tangani Korupsi Kepolisian dan Kejaksaan Jika Terpilih Nanti
Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.
Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.
Sementara itu, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.
Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.
Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.
Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.
Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.
Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.
Kata Pakar Hukum
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyebut, pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa saja tak dilakukan seandainya Presiden Joko Widodo tak mengeluarkan surat presiden (surpres).
• Profil Lengkap Soetikno Soedarjo, Ayah Dita Soedarjo Ditangkap KPK, Batal Jadi Mertua Denny Sumargo
• Dilaporkan ke Polisi, Jubir KPK Duga karena Kawal Seleksi Capim KPK
Sebab, meskipun rancangan revisi Undang-Undang KPK ini telah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR, pembahasannya harus menunggu respons dari Presiden.
"Kalau misalnya Pak Jokowi besok betul-betul ngasih surat presiden untuk mulai bahas, artinya kan undang-undangnya bisa mulai dibahas," kata Bivitri kepada Kompas.com, Kamis (5/9/2019).
"Tapi, menurut Pasal 20 UUD kita kan sebenarnya kalau Pak Jokowi enggak mengeluarkan surat presiden, UU ini tidak akan dibahas," tuturnya.
Bivitri menyebut, suatu kabar buruk jika DPR dan pemerintah benar-benar merevisi UU KPK.
Pasalnya, ada sejumlah poin yang bakal diganti dan ditambahkan, yang diprediksi bakal melemahkan KPK.
Jika revisi dilakukan, menurut Bivitri, pemerintah seolah tengah membunuh KPK.
"Kalau itu terjadi, pemerintahan yang sekarang seperti membunuh KPK. Karena KPK jadi nggak ada fungsinya lagi," kata dia.
Jika Presiden menerbitkan surat dan RUU benar-benar dibahas, kata Bivitri, bukan tidak mungkin KPK bakal diintervensi oleh pemerintah dalam penyidikan.
"Jadi ibaratnya nanti dia mau OTT (operasi tangkap tangan) segala macam itu bisa diintervensi nantinya," kata Bivitri.
"Pejabat mana yang mau disidik, pejabat mana yang mau dituntut secara hukum, itu nanti bisa diintervensi," ujar Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.