Beruntung polemik ini bisa diselesaikan dengan kondusif setelah pihak pengelola wisata pemilik patung tersebut bermediasi dengan warga dan yang mana dinilai telah terjadi miskomunikasi.
Perwakilan dari Pakis Hills, Jatnika, mengatakan bahwa patung tersebut dibangun sebagai ikon wisata yang mengadopsi nuansa Bali, bukan untuk merepresentasikan tokoh perempuan dari Kerajaan Majapahit.
Patung tersebut juga terbuat dari bambu dengan tangan kirinya mengacungkan pucuk teh, yang merupakan ikon Puncak Bogor sendiri.
"Tidak seperti narasi-narasi di luar, dan tim kami sudah ke lapangan untuk mediasi, silaturahmi, dan menerangkan supaya tidak terjadi salah paham, sebagian alhamdulillah mengerti dan kondusif," kata Jatnika.
Rekonsiliasi sempat dilakukan antar gubernur
Rekonsiliasi budaya terkait buntut ketegangan antar kerajaan Majapahit dan Pajajaran di masa lalu ini pernah dilakukan antar gubernur.
Salah satu program dalam rekonsiliasi budaya ini adalah membawa nama tokoh Kerajaan Majapahit untuk dijadikan sebagai nama jalan di wilayah Jawa Barat yang merupakan wilayah Pajajaran, begitu pun sebaliknya.
Dikutip dari Tribun Jabar, penamaan jalan tersebut dilakukan sebelum Gubernur Ahmad Heryawan (Aher) mengakhiri mada jabatannya sebagai Gubernur Jawa Barat pada pertengahan Juni 2018.
Di wilayah Bandung, nama Jalan Majapahit dijadikan nama jalan yang diapit Gasibu dan Pullman Hotel, sedangkan Jalan Hayam Wuruk akan menjadi pengganti nama Jalan Terusan Buahbatu.
Begitu pun sebaliknya, Pajajaran dan Siliwangi menjadi nama jalan di Tanah Jawa karena hal yang sama.
"Sekarang sudah ada Jalan Siliwangi dan Jalan Pajajaran di Yogyakarta dan Surabaya," kata Aher saat masih mejabat Gubernur Jabar pada, Senin (7/5/2018) lalu.
Aher menilai sudah bukan saatnya lagi mempertahkan isu-isu emosional dari masa lalu, termasuk mengungkit-ungkit peristiwa Pasundan Bubat, atau Perang Bubat pada abad ke-14.
Peristiwa tersebut baru ditulis dua abad setelahnya, yakni pada abad ke-16 dalam sebuah karya sastra berjudul Kidung Sundayana.
Sengan jeda dua abad, informasi secara rinci mengenai peristiwa perang tersebut hampir tidak mungkin diketahui.
Kalau pun kemudian ada tulisan yang mengisahkan peristiwa tersebut secara lengkap, hampir dipastikan bobot imajinasi dari karya tersebut jauh lebih besar ketimbang bobot historisnya.
"Pasundan Bubat adalah sejarah, fakta empiris yang tidak terhapus dari catatan Bangsa Indonesia. Peristiwa Pasundan Bubat tidak boleh dilupakan, tapi maafkanlah. Hilangkan dendam sejarah, berdamailah dengan sejarah, jadikanlah sebagai pelajaran agar kejadian buruk di masa lalu tidak terulang di masa depan," ungkapnya.