TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Bupati Pati Jawa Tengah, Sudewo ternyata memiliki segudang tanah dan bangunan. Kini ia menjadi perbincangan setelah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sampai 250 persen.
Kebijakan Sudewo menaikkan PBB-P2 mengundang gelombang protes dari masyarakat.
Bukan mempertimbangkan kritik dari rakyat, Sudewo justru menantang.
"Siapa yang akan melakukan aksi, Yayak Gundul? Silakan lakukan, jangan hanya 5.000 orang, 50 ribu orang suruh mengerahkan saya tidak akan gentar. Saya tidak akan mengubah keputusan tetap maju dan saya instruksikan semua aparatur pemerintah Kabupaten Pati tidak boleh beginning apa pun dengan Yayak Gundul. Silakan kalau ada pihak pihak yang mau demo silakan. Saya tidak akan gentar, tidak akan mundur satu langkah," kata Sudewo.
Ia memulai karir politiknya dari Partai Gerindra dengan menjadi anggota DPR RI Dapil Jawa Tengah 2009-2014 lalu terpilih lagi 2019-2024. Sudewo sebenarnya kembali terpilih menjadi anggota DPR, namun ia lebih memiliki duduk sebagai Bupati Pati di Pemilu 2024.
Sudewo beralasan menaikkan PBB 250 persen karena Kabupaten Pati sudah tertinggal dibanding tetangganya, Kabupaten Jepara dan Rembang.
"PBB Kabupaten Pati hanya sebesar 29 Miliar, di Kabupaten Jepara 75 miliar. Padahal, Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Jepara. Kabupaten Rembang itu 50 miliar, padahal Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Rembang. Kabupaten Kudus 50 miliar, padahal Kabupaten Pati lebih besar daripada Kabupaten Kudus," katanya.
Kenaikan PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan) sebesar 250 persen bisa berdampak cukup luas terhadap berbagai lapisan masyarakat dan kegiatan ekonomi.
Misalnya, sebelumnya hanya membayar Rp 200 ribu, dengan kenaikan 250 persen maka warga harus merogoh sampai Rp 700 ribu.
Kenaikan akan sangat terasa bagi warga yang berpenghasilan rendah, pensiunan, pemilik rumah lama yang luas dan strategis dan pemilik tanah kosong yang tidak produktif, ruko, kos-kosan, gudang atau usaha kecil.
Bisa saja berdampak dengan naiknya harga sewa, sampai pengurangan pegawai. Kenaikan juga bisa membuat orang aka menjual tanah atau rumahnya karena tak sanggup bayar pajak. Atau alih kepemilikan lahan ke investor besar.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) Juli 2025, Persentase penduduk miskin pada Maret 2025 sebesar 9,48 persen, mengalami penurunan, yaitu 0,10 persen poin dibanding September 2024 dan 0,99 persen poin dibanding Maret 2024.
Baca juga: Jejak Karir Bupati Pati Sudewo, Viral Sulut Amarah Warga Usai Naikan Pajak 250 Persen, Tantang Demo
Garis Kemiskinan pada Maret 2025 tercatat sebesar Rp537.812,- per kapita per bulan dengan komposisi Garis Kemiskinan Makanan sebesar Rp407.576,- per kapita per bulan (75,78 persen) dan Garis Kemiskinan Bukan Makanan sebesar Rp130.236,- per kapita per bulan (24,22 persen).
Pada Maret 2025, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Jawa Tengah yang diukur menggunakan gini ratio adalah sebesar 0,359. Angka ini menurun 0,008 poin jika dibandingkan dengan gini ratio Maret 2024 yang sebesar 0,367.
Gini ratio di daerah perdesaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,306; turun dibanding gini ratio Maret 2024 yang sebesar 0,310 dan Gini ratio di daerah perkotaan pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,390; turun dibanding gini ratio Maret 2024 yang sebesar 0,399.