Sindiran Bintang Emon ke Pelaku Penyiram Air Keras Novel Baswedan, Laode M Syarif: Terimakasih Dik

Bintang Emon menyindir keras hukuman yang diberikan ke pelaku penyiraman air keras ke Novel Baswedan.

Penulis: Vivi Febrianti | Editor: Ardhi Sanjaya
Kompas.com
Pelaku penyerangan, RB, mengaku tidak suka pada Novel Baswedan 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Tuntutan yang diterima pelaku penyiram air keras ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan membuat publik tak puas.

Salah satunya juga dirasakan oleh Komika Bintang Emon yang menyindir sang pelaku.

Bahkan, sindiran Bintang Emon itu langsung diapresiasi oleh Mantan Pimpinan KPK Laode M Syarif.

Sindiran itu diposting oleh Bintang Emon di akun media sosialnya, Jumat (12/6/2020) sore.

Beikut ini isinya :

"Katanya gak sengaja, tapi kok bisa sih kena muka?

Pan kita tinggal di bumi, grafitasi pasti ke bawah.

Nyiram badan gak mungkin meleset ke muka.

Kecuali Pak Novel Baswedan emang jalannya hand stand.

Bisa lu protes, 'Pak Hakim saya niatnya nyiram badan, cuma gegara dia jalanny betingkah jadi kena muka'. Bisa, masuk akal.

KPK Berharap Terdakwa Penyerang Novel Baswedan Dijatuhi Hukuman Maksimal

Rahmat dan Ronny Dituntut 1 Tahun Penjara, Novel Baswedan : Kebobrokan yang Dipertontonkan

Sekarang tinggal kita cek, yang kaga normal cara jalannya Pak Novel Baswedan atau hukuman buat kasusnya?

Katanya cuma buat ngasih pelajaran

Bos, lu kalau mau ngasih pelajaran, Pak Novel Baswedan jalan lu pepet, lu bisikin 'eh tahu gak kita punya grup yang gak ada lu nya loh'.

Pasti insecure tuh, salah gw apa ya, introspeksi Pak Novel, pelajaran jatohnya.

Nah air keras mah dari namanya juga keras, kekerasan, gak mungkin keaeran.

Katanya kaga sengaja, tapi niat bangun subuh.

Nih asal lu tahu, subuh itu waktu sholat yang godaan setannya paling kuat.

Banyak tuh yang kaga bangun subuh tuh, gw, temen-temen gw, banyak yang kelewat.

Tapi ini ada yang bangun subuh, bukan buat sholat subuh, buat nyiram air keras ke orang yang baru pulang shalat subuh.

Jahat gak? Jahat.

Oknum Polisi Penyiram Air Keras ke Novel Baswedan Dituntut 1 Tahun Penjara

Siram Novel Baswedan, Rahmat Kadir : Saya Hanya Memberi Pelajaran Novel, Dia Pengkhianat

Siapa yang diuntungin? Setan.

Jadi ada pembenaran, tuh kan bener kata gw mending tidur aja, sekalinya melek nyelakain orang kan lu.

Ngerasa bener setan gara-gara elu, respect setan sama lu, mantep lah".

Video itu pun diapresiasi oleh Laode M Syarif.

Ia juga menandai beberapa akun di antaranya KPK, Kejari dan Humas Polri.

"Terima Kasih dik @febridiansyah @KPK_RI @KejaksaanRI @DivHumas_Polri," tulisnya.

Dituntut 1 Tahun Penjara

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tak dapat menyembunyikan kegeraman dan kemarahannya mengetahui dua terdakwa penerornya hanya dituntut 1 tahun pidana penjara.

Diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut agar dua anggota Brimob Polri yang menjadi terdakwa penyiram air keras terhadap Novel Baswedan, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis untuk dihukum 1 tahun pidana penjara.

Tuntutan itu dibacakan Jaksa dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6/2020).

Pengakuan Novel Baswedan, Sedang Tangani Kasus Suap Basuki Hariman Sebelum Disiram Air Keras

Novel Baswedan Sebut Penyidik Tak Nyaman dengan Kondisi KPK Sekarang

Novel mengaku sudah menduga sidang perkara teror yang dialaminya pada 11 April 2017 silam hanyalah formalitas.

Bahkan, dugaan tersebut sudah dirasakan Novel sejak proses penyidikan kasus ini hingga bergulir di persidangan.

Namun, kata Novel, tuntutan Jaksa yang hanya setahun pidana penjara sangat keterlaluan.

Menurutnya, tuntutan terhadap Rahmat Kadir dan Ronny Bugis merupakan suatu kebobrokan proses penegakan hukum yang dipertontonkan.

"Memang hal itu sudah lama saya duga, bahkan ketika masih diproses sidik dan awal sidang. Walaupun memang hal itu sangat keterlaluan karena suatu kebobrokan yang dipertontonkan dengan vulgar tanpa sungkan atau malu," kata Novel saat dikonfirmasi awak media, Kamis (11/6/2020).

Tak hanya marah, Novel mengaku miris dengan proses persidangan teror yang membuat kedua matanya terancam mengalami kebutaan.

Menurutnya, persidangan ini menjadi ukuran fakta betapa rusaknya hukum di Indonesia.

"Lalu bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan? Sedangkan pemerintah tak pernah terdengar suaranya [abai]," ungkap Novel.

Hal senada disampaikan Tim Advokasi Novel. Tim Advokasi menyatakan tuntutan satu tahun pidana penjara terhadap dua terdakwa peneror Novel menginformasi sandiwara hukum yang selama ini dikhawatirkan masyarakat.

Tidak hanya tuntutan tersebut sangat rendah, Tim Advokasi juga menilai tuntutan tersebut memalukan dan tidak berpihak pada korban kejahatan.

"Terlebih ini adalah serangan brutal kepada Penyidik KPK yang telah terlibat banyak dalam upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih dapat mengungkapkan fakta sebenarnya, justru Penuntutan tidak bisa lepas dari kepentingan elit mafia korupsi dan kekerasan," kata salah seorang anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana dalam keterangan persnya.

Kurnia mengatakan, sejak awal Tim Advokasi Novel Baswedan berulang kali mengungkap banyak kejanggalan dalam persidangan ini.

Beberapa di antaranya, dakwaan Jaksa yang berupaya menafikan fakta kejadian yang sebenarnya dengan hanya mendakwa Pasal 351 dan Pasal 355 KUHP terkait dengan penganiayaan terhadap kedua terdakwa.

Padahal teror yang dialami Novel berpotensi untuk menimbulkan akibat buruk, yakni meninggal dunia.

Dengan demikian, Jaksa seharusnya mendakwa dengan menggunakan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.

Kejanggalan lainnya, saksi-saksi yang dianggap penting tidak dihadirkan Jaksa di persidangan.

Terdapat setidaknya tiga saksi yang semestinya dapat dihadirkan di Persidangan untuk menjelaskan duduk perkara sebenarnya.

Tiga saksi itu pun pernah diperiksa oleh Penyidik Polri, Komnas HAM, serta Tim Pencari Fakta bentukan Kepolisian.

"Namun, Jaksa seakan hanya menganggap kesaksian mereka tidak memiliki nilai penting dalam perkara ini. Padahal esensi persidangan pidana itu adalah untuk menggali kebenaran materiil, sehingga langkah Jaksa justru terlihat ingin menutupi fakta kejadian sebenarnya," katanya.

Kejanggalan lainnya, peran penuntut umum yang terlihat justru seperti pembela para terdakwa.

Hal ini disimpulkan ketika melihat tuntutan yang diberikan kepada dua terdakwa.

Tak hanya itu, saat persidangan dengan agenda pemeriksaan Novel pun Jaksa seakan memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan Penyidik KPK ini.

"Semestinya Jaksa sebagai representasi negara dan juga korban dapat melihat kejadian ini lebih utuh, bukan justru membuat perkara ini semakin keruh dan bisa berdampak sangat bahaya bagi petugas-petugas yang berupaya mengungkap korupsi ke depan," tegasnya.

Dikatakan, persidangan kasus ini menunjukan hukum digunakan bukan untuk keadilan, tetapi sebaliknya hukum digunakan untuk melindungi pelaku dengan memberi hukuman 'alakadarnya', menutup keterlibatan aktor intelektual, mengabaikan fakta perencanaan pembunuhan yang sistematis, dan memberi bantuan hukum dari Polri kepada pelaku.

Padahal, kata Kurnia Pasal 13 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 menyatakan pendampingan hukum baru dapat dilakukan bilamana tindakan yang dituduhkan berkaitan dengan kepentingan tugas.

Untuk itu, Tim Advokasi Novel Baswedan meminta Majelis Hakim tidak larut dalam sandiwara hukum ini.

Majelis Hakim, katanya, sudah seharusnya melihat fakta sebenarnya yang menimpa Novel Baswedan.

Selain itu, Tim Advokasi juga menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membuka tabir sandiwara hukum ini dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.

"Kami juga menuntut Komisi Kejaksaan mesti menindaklanjuti temuan ini dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum dalam perkara penyerangan terhadap Novel Baswedan," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved