Tertunduk Lesu, Herry Wirawan Dituntut Hukuman Mati dan Kebiri Kimia, Ini yang Memberatkan Terdakwa
perbuatan Herry dinilai dapat menimbulkan dampak luar biasa di masyarakat dan mengakibatkan korban terdampak secara psikologis.
Penulis: khairunnisa | Editor: Vivi Febrianti
"Terdakwa menggunakan simbol agama dalam pendidikan untuk memanipulasi dan alat justifikasi," ujar Asep N Mulyana.
Seperti diketahui, Herry memperkosa 13 santriwati di beberapa tempat, yakni di Yayasan pesantren, hotel, hingga apartemen.
Fakta persidangan pun menyebutkan bahwa terdakwa memperkosa korban di gedung Yayasan KS, pesantren TM, pesantren MH, basecamp, Apartemen TS Bandung, Hotel A, Hotel PP, Hotel BB, Hotel N, dan Hotel R.
Baca juga: Perjalanan Kasus Cuitan Ferdinand Hutahaean, Berujung Jadi Tersangka Kini Ditahan
Peristiwa itu berlangsung selama lima tahun, sejak tahun 2016 sampai 2021.
Pelaku adalah guru bidang keagamaan sekaligus pimpinan yayasan itu.
Para korban diketahui ada yang telah melahirkan dan ada yang tengah mengandung.
Herry dituntut hukuman sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), ayat (3) Dan (5) jo Pasal 76.D UU R.I Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.

Taktik Cuci Otak Herry Wirawan
Tersangka kasus rudapaksa belasan santriwati, Herry Wirawan (36), ternyata mencuci otak para korban dan istrinya hingga tak berdaya.
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat (Kajati Jabar), Asep N Mulyana, menuturkan aksi cuci otak yang dilakukan Herry termasuk dalam kategori ancaman psikis.
Sebagai informasi, arti cuci otak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah usaha secara paksa pengubahan keyakinan atau perilaku seseorang dengan cara memanipulasi psikologi.
Baca juga: Roy Suryo Tawarkan Ferdinand Periksa Kejiwaan Secara Gratis : Kalau Sakit Dirawat Sampai Sembuh
Ia menerangkan, perbuatan Herry tersebut membuat korban secara sukarela melakukan apapun yang diminta olehnya.
Bahkan, ujar Asep, akibat aksi Herry itu, korban dan istrinua tak bisa berbuat apa-apa, termasuk melaporkan aksi bejat pelaku.
"Perbuatan terdakwa ini termasuk dalam kategori dengan ancaman psikis, yaitu membekukan otak korban sehingga secara sukarela mau melakukan apapun yang diminta oleh pelaku," terang Asep usai sidang, Kamis, dikutip dari TribunJabar.

"Jadi, kalau teman-teman bertanya kenapa ini baru terungkap sekarang, kenapa istrinya tidak mau melapor."