Sambil sibuk memeriksa dua goodybag, berisi tempat makan dan sepatu high heels, kepalanya tidak berhenti melihat ke arah pintu kereta.
"Paling ngeselin banget itu, kalau ada lelaki yang duduk, tapi pura-pura tidur," ujarnya.
Tapi, kesadaran penumpang soal simpati pada kaum prioritas ini, dinilai sudah sedikit meningkat.
Selalu ada saja penumpang yang menegur penumpang lain yang duduk di hadapan kaum prioritas.
"Ada petugas juga sih biasanya yang ngarahin, tapi kalau memang tidak ada dan lagi penuh banget, itu kita saja yang inisiatif, misalnya kaya ngegangguin kakinya orang duduk itu pakai dengkul kita, niatnya supaya dia risih gitu," terangnya sambil sedikit tertawa.
Ada pula duduk bergantian, itu dilakukan oleh kebanyakan Commuters yang sudah saling kenal.
"Misal saya duduk sampai Pasar Minggu, nanti gantian sama teman yang berdiri," katanya.
Beruntung, bagi Commuters yang tergabung ke dalam komunitas.
Sekelompok penumpang beda pekerjaan ini, akrab karena sering bertemu di dalam kereta.
Dokumen TribunnewsBogor.com/Ardhi Sanjaya
Biasanya, kata Rika, komunitas ini kebanyakan dari Cilebut, Bojonggede dan Citayam yang bekerja di Tanah Abang.
Di jam tertentu, beberapa tempat duduk pilihan dikuasi oleh kelompok ini, dengan berbagai cara.
"Kalau digerbong satu itu dengan jadwal kereta 06.05 ini bilang komunitas 165, tiap gerbong pasti ada," ujarnya.
Cara lain yang sedikit rumit dan membutuhkan link kuat untuk mendapat tempat duduk, yakni dengan membayar seorang joki.
Dengan membayar Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu, joki ini akan memberi tempat duduk sesuai permintaan.
"Kalau sekarang tidak tahu deh masih ada apa tidak, sudah jarang lihat juga orangnya," katanya.