Di Depan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Dedie Rachim Klaim Kota Bogor Jadi Kota Hijau Pertama di Asia

Editor: Tsaniyah Faidah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wali Kota Bogor Dedie Rachim bersama Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Rakernas XI JKPI 2025 di Yogyakarta, Rabu (6/8/2025).

TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, menuturkan bahwa ada sebuah tendensi dalam setiap upaya pelestarian, yakni manusia sering kali tanpa disadari lebih fokus pada yang "tangible".

Contohnya adalah bangunan, struktur, zona, dan kawasan, sehingga, perlahan-lahan lupa pada yang "intangible", seperti nilai-nilai, ingatan kolektif, praktik hidup, dan makna yang membentuk jiwa dari tempat itu sendiri. 

Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim mengungkapkan bahwa Bogor punya potensi untuk mengajukan kepada UNESCO agar dijadikan sebagai salah satu Kota Hijau pertama di Asia. 

Sebab, bukan semata-mata Kebun Raya sebagai taman fisik, melainkan konsep perencanaan kota berbasis ruang hijau, filosofi menjadikan Kebun Raya sebagai pusat kota, identitas ekologis dan budaya Kota Bogor, kekhasan tata kota yang sangat langka di dunia, serta nilai sejarah, sosial, dan budaya yang melekat padanya.

"Jadi Bogor punya potensi untuk mengajukan kepada UNESCO untuk dijadikan sebagai salah satu kota hijau pertama di Asia yang memiliki internasional value, karena berdasarkan perencanaan sejak awal, Bogor itu menjadikan Kebun Raya sebagai pusat kota dan di dalam perencanaan perkotaan, ini jarang ada, hanya ada Bogor dan New York," tutur Dedie Rachim dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) 2025 di Yogyakarta, Rabu (6/8/2025). 

Dedie Rachim menambahkan, kalau di Bogor itu ada Kebun Raya, di New York ada Central Park. Menurutnya, ini sangat layak untuk diajukan ke UNESCO sebagai bagian dari nilai-nilai tak benda yang bisa menjadikan Bogor lebih dikenal lagi di dunia.

Dalam sambutannya, Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengungkapkan bahwa menjaga pusaka tidak hanya sebagai obyek, tetapi sebagai proses sosial yang hidup serta harus dirawat lewat dialog, partisipasi, dan keberanian. 

Nilai-nilai dasar, ditekankan Sri Sultan Hamengku Buwono X harus menjadi jangkar, tetapi cara menjaganya perlu terus berkembang, lebih inklusif, responsif, dan lebih berakar pada kesadaran kolektif masyarakat kota itu sendiri. 

"Karena sejatinya, yang ingin dirawat bukan hanya obyek, tetapi jati diri yang terus hidup di dalamnya," ungkapnya. 

Ia percaya, JKPI punya peran strategis untuk menjadi lokomotif dalam proses ini, bukan hanya sebagai penjaga pusaka, tetapi sebagai penggerak yang mampu menempatkan warisan sebagai sumber daya nilai dalam membentuk masa depan kota secara cerdas, beretika, dan kontekstual.

"Sehingga mari kita pastikan bahwa Rakernas JKPI 2025 ini dapat memantapkan arah bersama, agar pelestarian yang kita lakukan bukan hanya reaktif, administratif, atau simbolik, melainkan benar-benar menyentuh jantung kehidupan masyarakatnya. Sebab kota pusaka adalah kota yang hidup dan menghidupi, yang bukan hanya berdiri, tapi juga bermakna," tutupnya.

Berita Terkini