TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Massa aksi dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) merusak tembok Balaikota Bogor di Jalan Ir. H. Djuanda pada Kamis (21/8/2025). Wali Kota Bogor Dedie Rachim pun diminta tegas dalam menindaklanjuti pengerusakan tersebut.
Pengerusakan dilakukan dalam bentuk vandalisme menggunakan cat warna pada tembok bagian depan Balaikota Bogor.
Balaikota Bogor diketahui bukan hanya sekadar kantor Wali Kota Bogor dan pusat pemerintahan, namun bangunannya sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.
Penetapan Balaikota Bogor sebagai cagar budaya sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata tentang penetapan situs dan bangunan tinggaln sejarah dan purbakala.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Djuanda Bogor, Gotfridus Goris Seran mengatakan aksi demo untuk menyampaikan aspirasi memang diperbolehkan.
"Akan tetapi demo yang anarkis tidak diperbolehkan," katanya.
Saat demo, massa aksi mencorat-coret tembok Balaikota Bogor menggunakan cat semprot warna merah.
Mereka juga membakar karangan bunga di teras kantor Wali Kota Bogor.
Menurut Seran, tindakan tersebut tidak mencerminkan moralitas publik.
"Demo yang merusak fasilitas publik tidak mencerminkan moralitas publik," katanya.
Ia juga menerangkan GMNI Bogor bukan lah organisasi ekstra dan intra di kampus.
"GMNI adalah organisasi ekstra kampus, bukan organisasi intra kampus. Nama mahasiswa yang melekat pada GMNI hanya menunjukkan keanggotaan dari "mahasiswa-mahasiswa" yang studi di perguruan tinggi," katanya.
Ia berpendapat tindakan mahasiswa di GMNI Bogor yang demo di Balaikota Bogor harusnya mencerimkan sebagai kaum intelektual.
"Cap mahasiswa yang melekat pada GMNI semestinya melakukan demo yang mencerminkan karakter mahasiswa sebagai kaum intelektual, bukan sebagai preman," kata Seran.
Menurutnya, selain melanggar Peraturan Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, tindakan massa aksi juga melanggar Peraturan Daerah tentang ketertiban umum.