Payung ini melambangkan unsur kasundaan yang menggambarkan keberagaman di dalam satu naungan.
Naungan itu adalah Bhineka Tunggal Ika.
Tepat di depan pintu masuk, ada hiolo besar untuk menancapkan dupa yang dibakar.
Baru memasuki ruangan, terlihat altar dengan deretan patung para dewa, termasuk Pan Kho.
Dewa Pan Kho sengaja diletakkan di tengah dan paling atas karena merupakan tuan rumah dan menjadi dewa tertinggi di klenteng ini.
Di dalam klenteng, ada payung bersusun 3 yang melambangkan segala skema manusia, menginjak bumi, menjunjung langit Tuhan yang maha Esa.
Di sisi kanan, terdapat sebuah patung Dewi Kwan Im yang mewakili kepercayaan agama Budha.
Sedangkan di sisi kiri, ada sebuah batu besar khas peninggalan Megalitikum yang diselimuti kain hijau.
Ketika Pajajaran berdiri, batu ini dijadikan monolit yang menjadi titik awal orang Tionghoa mendirikan tempat beribadah.
Artefak itu dipercaya sebagai petilasan Embah Raden Mangun Jaya.
Masuk lebih dalam ke bagian belakang klenteng, terdapat ruang yang dipakai umat Muslim untuk berziarah.
Sebab di dalam ruangan tersebut ada dua batu besar yang diyakini sebagai tempat petilasan dua tokoh penyebar agama Islam.
Mereka adalah Raden Sake putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten dan Uyut Gebok salah satu petinggi dari kerajaan Padjajaran.
Selain sebagai tempat berziarah, ruangan ini juga difungsikan sebagai mushala.
Setiap malam Jumat umat muslim ke sini untuk pengajian.