UMK Bogor Rp4,8 Juta Dinilai Belum Layak, Buruh Ungkap Keluhan Sulitnya Punya Tabungan

Buruh di Kabupaten Bogor terus berjuang menuntut kesejahteraan dengan mendapatkan upah yang layak.

|
Penulis: Muamarrudin Irfani | Editor: Vivi Febrianti
TribunnewsBogor.com/Muammarudin Irfani
DEMO UMK - Ribuan buruh menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Bogor menolak upah murah, Kamis (20/11/2025). 

Laporan Wartawan TribunnewsBogor.com, Muamarrudin Irfani

TRIBUNNEWSBOGOR.COM, CIBINONG - Buruh di Kabupaten Bogor terus berjuang menuntut kesejahteraan dengan mendapatkan upah yang layak.

Melalui aksi unjuk rasa yang digelar pada Kamis (20/11/2025) di depan Kantor Bupati Bogor, buruh menuntut kenaikan upah layak sebesar 8,5 persen.

Pasalnya, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Bogor sebesar Rp4,8 juta dinilai belum mencukupi kebutuhan para buruh.

Ketua KC FSPMI Bogor, Komarudin Sriyatno mengatakan, para buruh saat ini dihadapkan oleh tuntutan biaya kehidupan yang tinggi.

Menurutnya, dengan upah yang ada saat ini untuk menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi merupakan sebuah mimpi.

Pasalnya, kata dia, jika disimulasikan upah yang didapatkan para buruh hanya mampu membiayai anak-anaknya sampai jenjang menengah atas.

"Perbandingnya mungkin juga berbanding seribu berbanding satu yang mampu menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi. Itupun juga perguruan tinggi bukan yang high class, bukan perguruan tinggi yang biasa-biasa saja," ujarnya, Kamis (20/11/2025).

Selain pendidikan, sektor kesehatan juga menjadi keluhan para buruh dengan upah yang dinilai belum layak.

Baca juga: Tolak Upah Murah, Buruh di Kabupaten Bogor Geruduk Kantor Bupati

Ia menyebut biaya kesehatan masih cukup mahal terlebih bagi penanganan penyakit yang tidak dicover oleh BPJS.

"Walaupun kita punya BPJS, kan ada kecenderungan kita menggunakan di luar BPJS jika memang kondisi sakitnya tidak bisa di cover oleh BPJS," katanya.

Komarudin Sriyatno juga mengatakan, semakin naiknya harga hunian seperti rumah menjadi hal yang sulit diraih bagi para buruh.

Saat ini menurutnya masih banyak buruh yang tinggal di rumah kontrakan karena belum mampu untuk membeli rumah pribadi.

"Kita sebagian besar di kawasan-kawasan pemukiman industri masih kontrak-kontrak. Biaya kontrakan saja Rp800 ribu per bulan. Itu cukup hanya untuk orang yang single, bagaimana yang sudah berkeluarga," katanya.

Di samping itu, ia mengatakan bahwa dengan upah yang didapatkan oleh para buruh saat ini sulit untuk ditabung.

Sebab, sambungnya, upah yang diterima setiap bulan hanya cukup untuk makan.

"Sampai hari ini kita yang sudah bekerja puluhan tahun pun tidak punya tabungan. Itu fakta, tidak punya tabungan. Artinya upaya yang kita dapat setiap bulan pun jangan dikatakan besar itu bohong. Kalau besar berarti kita punya tabungan dong. Saya sudah 30 tahun bekerja, tapi tidak punya tabungan," katanya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved