IPW Soroti Tindakan Oknum Kurator, Minta Kapolri dan Polda Metro Turun Tangan

Indonesia Police Watch meminta perhatian polisi terkait fenomena mafia kepailitan yang berpotensi merusak dunia usaha.

Editor: Tsaniyah Faidah
Istimewa
SUGENG TEGUH SANTOSO - Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso menilai, praktik mafia kepailitan berpotensi merusak dunia usaha melalui penyalahgunaan kewenangan dalam perkara kepailitan. 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM - Indonesia Police Watch (IPW) meminta perhatian sungguh-sungguh dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kapolda Metro Jaya Irjen Asep Edi Suheri, serta Ketua Mahkamah Agung RI Sunarto terkait fenomena mafia kepailitan yang melibatkan oknum kurator/pengurus (receiver) dan oknum hakim pengawas perkara PKPU.

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso menilai, praktik ini berpotensi merusak dunia usaha melalui penyalahgunaan kewenangan dalam perkara kepailitan, dengan cara mematikan perusahaan yang masih sehat dan solven melalui prosedur legal yang sesungguhnya merupakan upaya hostile take over.

Ia menyebut telah menerima dua pengaduan terkait praktik mafia kepailitan.

Modus yang dipakai adalah pengajuan utang tidak benar untuk menguasai suara dalam voting Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

"Piutang palsu kemudian dituangkan dalam Daftar Piutang Tetap (DPT) sehingga tampak sah secara hukum," ucapnya.

Pengaduan pertama datang dari Saudara Bintoro, yang diputus pailit pada 3 Agustus 2023 berdasarkan Putusan PKPU No.: 254/Pdt.Sus-PKPU/2022/PN.Niaga.Jkt.Pst.

Dalam perkara itu, kurator memasukkan tagihan Rp39,4 miliar dari PT Petro Energy (dalam pailit) ke dalam DPT.

Padahal, Bintoro menegaskan tidak pernah meminjam uang, tidak menandatangani perjanjian utang, dan tidak tercatat sebagai debitor dalam laporan keuangan PT Petro Energy.

Meski demikian, tagihan fiktif itu tetap diverifikasi sehingga PT Petro Energy memperoleh suara tambahan untuk menjatuhkan putusan pailit.

Kasus kedua menimpa PT Pilar Putra Mahakam (PPM). Pada 6 Maret 2025, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PPM harus membayar Rp10,58 miliar kepada dua kreditor.

Meski kewajiban tersebut telah dilunasi pada April 2025, pengadilan tetap memutus pailit.

"Ironisnya, setelah putusan pailit, pengurus yang sama ditunjuk kembali sebagai kurator dan kembali memasukkan utang yang sudah dibayar ke dalam DPT," ucap Sugeng.

Atas dua kasus ini, IPW mendorong pelaporan ke kepolisian.

Pengaduan Bintoro tercatat dengan Nomor: LP/B/6353/IX/SPKT Polda Metro Jaya, 10 September 2025, sementara laporan PT Pilar Putra Mahakam terdaftar dengan Nomor: LP/B/6351/IX/SPKT Polda Metro Jaya, 10 September 2025.

Keduanya melaporkan dugaan tindak pidana Pasal 400 ayat (2) KUHP tentang tindak pidana kepailitan, serta Pasal 263 KUHP terkait penggunaan surat palsu, karena DPT dipakai sebagai dokumen resmi meski memuat fakta yang diduga tidak benar.

Bunyi Pasal 400 ayat (2) KUHP:

“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan, barang siapa yang di waktu verifikasi piutang-piutang dalam hal pelepasan budel, kepailitan, atau penyelesaian, mengaku adanya piutang yang tak ada atau memperbesar jumlah piutang yang ada.”

Menurut Sugeng, pola permainan mafia kepailitan umumnya sama:

1. Kreditor fiktif muncul membawa tagihan utang yang sebenarnya tidak pernah ada, dengan nilai besar agar bisa menjadi mayoritas.

2. Tagihan fiktif diverifikasi oleh pengurus/kurator dalam tahap verifikasi piutang. Jika lolos, kreditor palsu memperoleh hak suara dalam voting.

3. Voting dipakai untuk mempailitkan perusahaan, meski debitor sudah membayar atau sebenarnya tidak berutang.

4. Setelah perusahaan resmi pailit, pengurus yang sama biasanya ditunjuk kembali sebagai kurator. Di sinilah modus berlanjut: utang fiktif yang sudah dibantah atau bahkan sudah dibayar tetap dituangkan ke dalam Daftar Piutang Tetap (DPT). Dokumen resmi pengadilan itu lalu dijadikan “pembenaran” seolah-olah piutang tersebut benar adanya.

Dengan cara ini, surat resmi pengadilan (Daftar Piutang Tetap) dapat dinilai sebagai surat palsu yang isinya tidak sesuai kebenarannya.

Penggelembungan utang ini menjadi instrumen baru mafia pailit. Dengan memanfaatkan celah voting PKPU, perusahaan yang sehat pun bisa ditumbangkan dengan cara rekayasa piutang.

"Ini bukan lagi sekadar sengketa utang-piutang, tapi modus sistematis untuk menjatuhkan perusahaan dan mengambil keuntungan dari kepailitan," papar Sugeng.

Ia melanjutkan, dampaknya bisa serius, bukan hanya bagi debitor, tetapi juga terhadap iklim investasi di Indonesia.

Oleh karena itu, Indonesia Police Watch meminta perhatian Kapolri dan Ketua Mahkamah Agung mencermati adanya mafia kepailitan yang bisa merugikan iklim usaha tersebut.

Indonesia Police Watch juga membuka kotak Pengaduan masyarakat atas mafia kepailitan dengan mengirimlan pengaduan pada email poskopengaduanmafiapailit@gmail.com dan nomor telp 082221344459

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved