Cerita Dibalik Patung Menggantung dan Rentetan Kecelakaan di Pintu Perlintasan Kereta di Bogor

Patung manekin dipasang di pintu perlintasan kereta di Kampung Kranji Timur, Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.

Penulis: Naufal Fauzy | Editor: Soewidia Henaldi
TribunnewsBogor.com/Naufal Fauzy
Patung di palang pintu perlintasan kereta api di Kampung Kranji Timur, RT 01/09, Kelurahan Ciriung, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor 

Peristiwa bermula dari kesalahpahaman kepala Stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 dengan tujuan Jakarta Kota.

Kereta itu berangkat menuju Sudimara tanpa mengecek kondisi di stasiun.

Hasilnya, tiga jalur kereta yang berada di Stasiun Sudimara penuh akibat kedatangan KA 225.

Tanpa komunikasi yang baik antara Stasiun Sudimara, KA 220 yang berada di Stasiun Kebayoran juga diberangkatkan.

Kereta ini berada di jalur sebaliknya, yang mengarah ke Sudimara.

Kondisi itu memaksa juru langsir di Sudimara segera memindahkan lokomotif KA 225 menuju jalur tiga. 
Karena ramainya jalur kereta, masinis tak dapat melihat semboyan dari juru langsir.

Namun, KAA 225 yang seharusnya pindah rel tiba-tiba berangkat. Semboyan 35 dilakukan.

Upaya dari juru langsir dan dan PPKA untuk menghentikan KA 225 sia-sia.

KA 225 yang membawa tujuh gerbong akhirnya "bertatapan muka" dengan KA 220 di Desa Pondok Betung.

Pukul 06.45 WIB, kedua kereta ini saling bertabrakan. KA 220 dengan kecepatan 25 kilometer per jam, sedangkan KA 225 dengan kecepatan 30 kilometer per jam saling beradu.

Keduanya ringsek.

Setelah peristiwa itu, beberapa petugas yang berada di stasiun dan masinis kereta diperiksa.

Mereka kemudian dijatuhi hukuman akibat kelalaiannya.

2. Faktor lain: konsentrasi masinis terganggu

Saat kejadian itu, Harian Kompas.com edisi 20 Oktober 1987 menyebut jalur Tanah Abang menuju Merak kondisinya kurang begitu bagus.

Oleh sebab itu, setiap kereta yang melintas harus menggunakan kecepatan maksimum 50-60 kilometer per jam.

Lokasi kecelakaan yang berada selepas tikungan dari arah Kebayoran Lama memungkinkan kedua lokomotif tak bisa saling melihat.

Dengan demikian, arah pandangan masinis menjadi kurang jeli untuk melambatkan laju kereta.

Terdapat faktor lain, banyak penumpang KA jalur ini yang lebih suka naik di lokomotif dan berjubel bersama masinis dan asisten masinis.

Mereka lebih menyukai sisi luar daripada harus masuk ke arah ke gerbong.

Faktor ini menjadikan konsentrasi masinis terganggu, bahkan terhalang penumpang yang berdiri di hadapannya.

Kondisi dalam gerbong kereta maut Bintaro.
Kondisi dalam gerbong kereta maut Bintaro. (KOMPAS/Jimmy WP)

3. Kesaksian masinis

Lima tahun yang lalu, tepatnya pada 11 Desember 2013, TribunJogja.com berkesempatan untuk mewawancarai Slamet Suradio, saat itu berusia 74 tahun, yang merupakan masinis dari KA 225 Jurusan Rangkasbitung-Jakartakota.

Dalam kejadian tersebut Slamet disalahkan karena dianggap melanggar aturan dengan memberangkatkan kereta tanpa izin Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA).

"Saya ingat jelas pagi itu kereta saya diberangkatkan. Saya melihat PPKA memberi tanda, asisten masinis telah naik ke kabin, dan kondektur pun telah masuk ke kereta," kata Slamet.

Karena itu, ia kesal ketika tahu hanya dirinya saja yang dipecat dengan tidak hormat dan tidak mendapatkan uang pensiun, sementara orang yang menurutnya paling bertanggung jawab tetap mendapat uang pensiun.

Slamet mengungkapkan, banyak keganjilan dalam kasusnya.

Misalnya saja, ia menandatangani Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) dalam ancaman.

"Waktu itu saya ditodong pistol, disuruh ngaku. Saya heran, saya nggak salah kok diperlakukan seperti itu," ucapnya pelan.

Masinis satu di antara kereta maut Bintaro 19 Oktober 1987, Slamet Suradio. Foto diambil pada 11 Desember 2013.
Masinis satu di antara kereta maut Bintaro 19 Oktober 1987, Slamet Suradio. Foto diambil pada 11 Desember 2013. (TribunJogja.com/Rento Ari Nugroho)

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Slamet untuk memperjuangkan haknya.

Namun, upaya tersebut tidak berhasil.

Kini ia hanya bisa pasrah menanti keadilan yang entah kapan datangnya.

Namun Slamet tidak patah dan tidak menyerah. Setelah merasa Ibu Kota terlalu kejam untuknya, ia memutuskan kembali ke kampung halamannya, Purworejo.

Di tempat ini ia memulai hidup yang baru dan berhasil menikah kembali setelah istri pertamanya direbut rekan masinis.

Dari pernikahan yang kedua ini ia dikaruniai tiga anak.

Untuk menyambung hidup, ia berjualan rokok eceran keliling di depan suatu toko di kawasan perempatan Kalianyar, Kutoarjo.

Tempat berjualannya ini berjarak sekitar 17 km dari rumahnya yang sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Purworejo.

"Peristiwa 26 tahun yang lalu itu tidak akan pernah bisa saya lupakan. Selain itu sekarang saya hanya berdoa, agar saya pada akhirnya mendapatkan keadilan. Uang pensiun yang menjadi hak saya, semoga saya dapatkan," katanya.

Slamet menegaskan, meski diperlakukan tidak adil, namun ia tidak merasa dendam pada dunia perkeretaapian.

Bahkan, ia memiliki keinginan agar ada anaknya yang masuk menjadi karyawan perusahaan kereta api.

"Saya tidak dendam. Saya sampai mati tetap cinta kereta api. kalaupun saya sudah tidak bisa memberikan apa yang saya miliki untuk kereta api, biarlah anak saya yang meneruskan cita-cita saya.

Kalau ada kesempatan saya ingin ada anak saya yang masuk ke kereta api, entah jadi masinis atau apa, yang penting meneruskan cita-cita saya membangun perkeretaapian Indonesia," ungkapnya sambil tersenyum.

4. Dibuat film dan lagu

Musikus legendaris, Iwan Fals turut berempati dan menciptakan sebuah lagu untuk mengenang tragedi berdarah tersebut.

Dilanisr dari Kompas.com, tujuannja memberikan teguran keras mengenang peristiwa dan memberi teguran kepada pemerintah.

Iwan Fals mengenang tragedi itu dalam lagu "1910", yang juga masuk dalam album 1910 (1988).

Salah satu liriknya terbilang mengenaskan:

"19 Oktober, tanah Jakarta berwarna merah..."

Benar adanya, tanah Jakarta berwarna merah, merah yang berarti banyak korban karena peristiwa memilukan itu.

Ebiet G Ade juga terinspirasi menuliskan lagu untuk tragedi ini.

Lagu "Masih Ada Waktu" memberikan sebuah introspeksi diri kepada seseorang yang masih diberikan keselamatan.

Selain diekspresikan melalui lagu, tragedi ini juga dijadikan sebuah film.

Film Tragedi Bintaro
Film Tragedi Bintaro (KOMPAS)

Harian Kompas edisi 22 Oktober 1989 menulis, untuk mengenang peristiwa itu, Sutradara Buce Melawau membuat karya film dengan judul Tragedi Bintaro (1989).

Film ini tidak mengisahkan kelalaian yang menyebabkan terjadinya tragedi tersebut.

Namun, film menceritakan kesedihan anak kecil bernama Juned karena orangtuanya di ambang perceraian.

Nenek Juned tergerak untuk membawanya ke desa agar tak merasa sedih.

Juned kemudian kehilangan keluarganya akibat peristiwa itu. (Kompas.com/TribunJogja.com/TribunJakarta.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved