Polisi Tembak Polisi

Sebut Motif Bisa Ringankan Hukuman Ferdy Sambo, Ahli Hukum Pidana: Perkosaan Buktinya Tidak Jelas

Ahli Hukum Pidana Unsoed Prof Hibnu Nugroho mengatakan bahwa motif dalam suatu tindak pidana itu memang harus ada.

Penulis: Vivi Febrianti | Editor: Damanhuri
Kolase
Ahli Hukum Pidana Unsoed Prof Hibnu Nugroho mengatakan bahwa motif dalam suatu tindak pidana itu memang harus ada. Namun yang menjadi masalah di kasus pembunuhan Brigadir J, motifnya itu belum jelas. 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM -- Ahli Hukum Pidana Unsoed Prof Hibnu Nugroho mengatakan bahwa motif dalam suatu tindak pidana itu memang harus ada.

Namun yang menjadi masalah di kasus pembunuhan Brigadir J, motifnya itu belum jelas.

Ia juga menegaskan kalau klaim pelecehan dan perkosaan yang dilayangkan kubu Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi itu buktinya tidak jelas.

"Motif dalam suatu tindak pidana itu memang harus ada, kan timbulnya kehendak itu adanya suatu motif. Oleh karena itu, ini yang menjadi masalah motifnya itu belum jelas," kata Hibnu Nugroho dikutip TribunnewsBogor.com dari Youtube tvOneNews, Senin (2/1/2023).

Sebab menurut dia, motif itulah yang menjadikan adanya suatu kehendak, apakah pelecehan atau perkosaan.

"Lah pelecehan dan perkosaan yang selama ini buktinya tidak jelas, apalagi terkait dengan perkosaan itu membutuhkan bukti yang dalam lagi," ujarnya.

Hibnu Nugroho juga mengatakan, motif itu bukan merupakan suatu unsur.

"Betul yang disampaikan ahli, motif bukan unsur tapi motif adalah penyebab adanya suatu tindak pidana. Penyebanya ini yang sekarang belum timbul secara konkrit dalam arti hukum pendukungnya," jelasnya.

Menurut dia, adanya pelecehan atau perkosaan itu harus dibuktikan dengan dua alat bukti adanya kekerasan seksual.

"Bisa tindakan tidak senang, bisa karena luka, lecet, bisa karena suatu keadaan karena syndrom yang luar biasa tapi diikuti dengan tindakan, itu bisa. Tapi sampai sekaran belum ada suatu tindakan yang konkrit. Mungkin ada, tapi dari perspektif hukum itu belum sah," tutur dia.

Sejauh ini, kata dia, perkosaan ini baru sebatas pengakuan dari Putri Candrawathi dan pemeriksaan ahli psikologi forensik saja.

"Itu bukti sekunder semua, di sini harus ditambah bukti primer, adanya luka, adanya bukti suatu chat atau kata-kata, atau misalnya saksi. Ini yang tidak terlihat, sehingga akan menyulitkan adanya suatu motif. Tapi pasti ada motif," tandasnya.

Baca juga: Jadi Saksi yang Ringankan Kuat Maruf, Ahli Pidana Soroti Peran ART Ferdy Sambo di Kasus Pembunuhan

Karena buktinya belum cukup, ia pun menduga bahwa hakim sudah menyadari bahwa pasti ada motif yang berkaitan dengan pelecehan seksual.

"Nanti majelis dalam putusannya pasti akan menimbulkan adanya suatu motif, yang menimbulkan kehendak adanya suatu penembakan, berencana lagi, ini yang dikejar," katanya.

Kemudian saat ditanyakan apakah terungkapnya motif akan bisa meringankan terdakwa Ferdy Sambo, ia pun tidak membantahnya.

"Kalau motif itu tujuannya suatu peristiwa yang utuh, karena dalam suatu pengungkapan perkara itu adanya korban, tindak pidana, locus tempus, adanya suatu cara melakukan, alat yang dipakai, dan motif. Itu satu kebulatan yang utuh, jadi di sini akan menjadikan kalau itu betul dan didukung, serta menimbulkan kehendak untuk melakukan suatu kejahatan, maka itu sebagai faktor yang meringankan adanya suatu tindak pidana," bebernya.

Namun ia menegaskan, hal itu hanya meringankan saja, bukan menghapuskan.

"Tapi tidak menghapuskan, meringankan," pungkasnya.

Orang yang Disuruh Tak Bisa Dipidana

Pakar Hukum Pidana, Muhammad Arief Setiawan mengatakan, orang yang disuruh tidak bisa dipidana.

Hal itu disampaikan Muhammad Arief Setiawan pada sidang kasus pembunuhan Brigadir J di PN Jakarta Selatan, Senin (2/1/2023).

Muhammad Arief Setiawan merupakan saksi ahli meringankan yang dihadirkan oleh terdakwa Kuat Maruf.

Pada sidang itu, tim penasihat hukum Kuat Maruf menanyakan jangka waktu terkait pembunuhan berencana.

Menurut Muhammad Arief Setiawan, tidak ada jangka waktu untuk sebuah perencanaan.

Baca juga: Ungkap 4 Perbedaan Kasus Ferdy Sambo dan Kopi Sianida, Pakar: Jessica Wongso Tak Halangi Penyidikan

"Yang penting pada saat melakukan perencanaan, pengambilan keputusan dan melaksanakan itu memang ada jangka waktunya, artinya memang tidak segera. Tapi waktunya tidak penting panjang atau pendek, tapi ada jeda waktunya," kata dia dilansir dari Kompas TV, Senin.

Selain itu, lanjut dia, pelaksanaannya juga harus dalam keadaan tenang.

"Kemudian itu dilaksanakan dengan tenang. Jadi keadaan tenang dengan sisi kejiwaan si pelaku itulah yang menentukan untuk perencanaan dan tidak," tandasnya.

"Persoalan penyertaan, tolong ahli menjelaskan kepada kami sebenarnya bagaimana pernyertaan itu?," tanya penasihat hukum Kuat Maruf lagi.

"Penyertaan kan ada beberapa bentuk, ada pidana sebagai pembuat, orang yang melakukan perbuatan, orang yang turut serta melakukan perbuatan, dan orang yang menyuruh melakukan perbuatan pidana. Nah itu bentuk-bentuk penyertaan," kata Muhammad Arief Setiawan.

Ia juga menegaskan, bentuk-bentuk penyertaan itu mempunyai konsekuensi masing-masing di dalam pembuktiannya.

"Untuk yang pertama itu dipidana sebagai pembuat, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu adalah mereka yang melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur delik yang didakwakan," jelasnya.

Kemudian yang kedua, kata dia, kalau dalam bentuk yang menyuruh lakukan, berarti ada dua pihak atau lebih. Di mana satu pihak adalah pihak yang menyuruh, dan yang kedua adalah yang disuruh.

Pakar Hukum Pidana, Muhammad Arief Setiawan mengatakan, orang yang disuruh tidak bisa dipidana.
Pakar Hukum Pidana, Muhammad Arief Setiawan mengatakan, orang yang disuruh tidak bisa dipidana. (Kompas TV)

"Yang melakukan perbuatan, itu yang disuruh dalam bentuk penyertaan yang seperti ini, yang disuruh itu tidak bisa dipidana karena dia sebenarnya tidak mempunyai niat jahat sama seperti yang menyuruh. Dan yang punya niat itu adalah si pihak yang menyuruh. Maka yang menyuruh itulah yang bisa dimintai pertanggung jawaban," jelas dia.

Lalu yang ketiga dalam bentuk turut serta, bentuk turut serta berarti dua pihak atau lebih yang mempunyai kesepakatan bersama untuk sama-sama mempunyai kehendak mewujudkan terjadinya delik atau tindak pidana.

"Dengan demikian, kalau dikaitkan dengan penyertaan tadi dengan kesengajaan, berarti bentuknya kalau turut serta berarti antara peserta yang satu dengan peserta yang lain harus terjadi apa yang namanya kesepahaman pemikiran, meeting of mind untuk mewujudkan delik. Di situ ketika dua pihak atau lebih berarati harus terpenuhi syarat adanya double kesalahan, karena kesalahannya itu harus sama antara pelaku satu dengan yang lainnya," beber dia.

Baca juga: Ferdy Sambo Bawa Bukti Foto-foto Brigadir J di Kelab Malam, Pengacara Bharada E: Tidak Ada Kaitannya

"Karena ini semuanya punya kehendak untuk mewujudkan terjadinya delik, jadi tidak bisa hanya salah satu. Kalau salah satu berarti bukan turut serta, kalau turut serta berarti persyaratan utamanya adalah ada kehendak yang sama untuk mewujudkan delik," tambah dia.

Sehingga menurut dia, yang paling penting dalam penyertaan yakni adanya kehendak yang sama.

"Persoalan yang dilakukan berbeda-beda di dalam melaksanakan tindakan itu, itu tidak jadi masalah di dalam bentuk turut serta. Yang penting pelaku satu dengan yang lain punya kehendak yang sama," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved