Sidang Lanjutan Dugaan Pemalsuaan Surat Izin Rumah Sakit, PN Kota Bogor Hadirkan Saksi dari JPU
Para terdakwa yakni RY dan FS melangsungkan sidang di Lapas Gunung Sindur dan Salemba karena keduanya sedang menjalani hukuman dalam kasus berbeda.
Penulis: Lingga Arvian Nugroho | Editor: Vivi Febrianti
JI mengatakan dari hasil rekap untuk biaya perizinan pembangunan rumah sakit pada 2017 tercatat Rp1 miliar lebih.
Sejumlah uang tersebut mengalir ke RY dan FS.
Dalam persidangan, Fikri Salim melontarkan beberapa keberatan atas keterangan saksi.
"Saya tidak pernah menyuruh untuk dia (JI) menandatangani atas nama RY tapi suruh membuat atau mengeluarkan sesuai pengajuan yang dikirimkan," kata FS.
Ia juga mengklaim bahwa seharusnya uang tersebut memang tanggung jawabnya atau sudah menjadi haknya.
Karena menurut FS perusahaan sudah menerima bukti pembayaran dan pekerjaannya.
Sementara RY hanya menyampaikan sedikit keberatan yakni soal siapa yang menghubunginya dan permintaan berkas surat untuk proses perizinan.
Seperti diketahui kasus tersebut bergulir di meja hijau atas laporan Prof. Lucky Aziza, pemilik PT Jakarta Media, yang melaporkan FS atas dugaan pemalsuan surat dan pengelapan dalam jabatan serta penipuan.
Pada sidang sebelumnya tanggal Senin (21/12/2020) dalam dakwaan yang dibacakan JPU disebutkan terdakwa FS dan RY Yuliana diduga melakukan pemalsuan surat atas pengurusan perizinan pembangunan rumah sakit di wilayah Cilendek Barat, Jalan KH Abdullah Bin Nuh, Kecamatan Bogor Barat di Kota Bogor pada 2015 sampai 2019.
Pada kegiatan tersebut FS menempati posisi sebagai pelaksana proyek pembangunan rumah sakit namun belakangan diketahui diduga FS melakukan pemalsuan surat-surat izin, pemalsuan tanda tangan dan berbagai kwitansi
Sedangkan RY diketahui adalah orang yang memberikan jasa pengurus perizinan dalam pembangunan rumah sakit tersbut.
Dalam dakwaan disebut bahwa FS dan RY ada kesepakatan terkait dugaan pemalsuan izin untuk pembiayaan perizinan.
Kemudian FS mengajukan anggaran ke perusahaan induk yang membangun rumah sakit dengan cara pengantian uang melalui kuitansi yang diduga kwitansi palsu.
"Perizinan yang sudah terbit, adalah informasi peruntukan ruang, izin mendirikan rumah sakit telah menghabiskan biaya Rp1 miliar lebih, padahal bahwa biaya resmi untuk IMB, yaitu Rp368 juta dan retribusi perluasan IMB Rp20 juta, dengan demikian perusahaan mengalami kerugian Rp715 juta," kata JPU.
Hingga waktu yang telah ditentukan Agustus 2019 rumah sakit tersebut belum dapat dioperasikan lantaran izin operasional yang diurus terdakwa belum sepenuhnya diberikan instansi berwenang khusunya sertifikat layak fungsi dan revisi siteplan.

 
			
 
                 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
						
					 
				
			 
											 
											 
											 
											