Perempuan Benteng Kokoh Halau Kekerasan dan Intoleransi Sejak Dini

Segala bentuk tindak kekerasan, baik di sekolah, perkantoran, ataupun di lingkungan tempat tinggal, bersumber dari pola pendidikan yang diterapkan di

Editor: Yudistira Wanne
Istimewa
Alissa Wahid saat memberikan keterangan terkait moderasi beragama 

TRIBUNNEWSBOGOR.COM – Segala bentuk tindak kekerasan, baik di sekolah, perkantoran, ataupun di lingkungan tempat tinggal, bersumber dari pola pendidikan yang diterapkan di keluarga masing-masing.

Pada tingkatan sosial terkecil yaitu rumah tangga, perempuan memiliki peranan penting dalam menentukan model pengasuhan yang dijalankan bagi anak-anaknya.

Momentum Hari Perempuan Internasional kiranya dapat menjadi pengingat bagi semua tentang pentingnya peranan perempuan dalam lingkup keluarga dan lingkungan.

Perempuan diharapkan dapat menjadi benteng yang kokoh untuk menghalau praktik kekerasan dan intoleransi sedari dini dari rumah tangganya masing-masing.

Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI) yang juga Aktivis Pemerhati Isu Perempuan dan Anak, Alissa Wahid mengatakan, tingkat pendidikan seorang perempuan sangat berpengaruh terhadap pola asuh yang diberikan kepada anak-anaknya.

Praktik kekerasan dalam keluarga yang berulang dan turun temurun banyak disebabkan oleh kurangnya pendidikan yang didapatkan oleh perempuan.

Padahal, menggunakan kekerasan dalam mendidik anak adalah cara yang tidak efektif dan hanya menimbulkan trauma berkepanjangan.

“Sudah semestinya kita mendorong perempuan supaya berpendidikan lebih tinggi, walaupun nantinya perempuan tersebut memilih untuk jadi ibu rumah tangga. Harus dipahami bahwa pendidikan yang lebih tinggi itu tidak akan terbuang begitu saja,” ujar Alissa.

Alissa juga menekankan pentingnya kerjasama antara ayah dan ibu dalam keluarga.

Putri pertama dari Presiden Ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini mencontohkan, kerjasama yang baik antara kedua orang tua dengan mencapai kesepakatan dalam pembagian peran.

Ia menegaskan bahwa tanggung jawab untuk menendidik sebetulnya bukan hanya pada ibu, tapi juga ada pada bapak.

Walaupun begitu, ia menyadari pada realitanya di Indonesia, beban pendidikan anak lebih banyak diberikan kepada ibu.

“Ini pengalaman pribadi ya. Saya pernah mau ikut camping, lalu tidak diizinkan sama ibu. Alasannya karena Ibu khawatir saat camping laki-laki dan perempuan bareng (dicampur) gitu. Kemudian saya mengadu ke bapak (Gus Dur) dengan harapan akan diizinkan untuk berangkat camping," tuturnya.

"Waktu itu, Gus Dur menjawabnya begini, ‘urusan pendidikan kalian, ibu itu komandannya. Jadi kalau ibu bilang tidak boleh, bapak ikut ibu.’ Nah, di situ saya belajar banget bagaimana kemudian orang ketika menghormati orang lain itu harus secara utuh gitu loh ya," sambungnya.

"Tidak ada perkataan, ‘kok pendapatku beda, jadi aku harus begini,’ tidak ada itu. Karena sudah kesepakatan beliau berdua, kalau urusan pendidikan anak, yang akan menjadi jenderalnya adalah ibu. Jadi bapak akan mengikuti ibu,” kenangnya.

Halaman
12
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved